(POV Usth. Hafsah)
Setelah menutup telepon darinya, aku segera menarik khimar (Jilbab panjang) coklatku dari lemari. Setelah sedikit berdandan ala kadarnya dan bercermin untuk memastikan penampilanku, aku segera menutup pintu kamarku. Kuambil tas jinjingku yang kuletakkan di meja dan kutarik sepatuku yang Nampak sudah mulai usang dari raknya. Kulihat kanan kiri, situasi pesantren sudah sepi. Maklum, pesantren kami memang tidak memiliki banyak santriwati lagi.
Kututut pintu rumah panggungku dan menuruni 5 anak tangga. Kutelusuri jalan setapak yang telah dikeraskan ketika mendiang ayahku, KH. Zaman masih memimpin pondok ini. Dua tahun lalu, setelah dirinya meninggal, banyak santri yang memutuskan pindah dari pesantren khusus putri ini. Jelas saja, selama ini, ayahku sulit memercayakan pembelajaran santri pada orang lain, tanpa ia pernah sadari, bahwa ia semakin menua.
Sekarang pukul delapan pagi lewat beberapa menit. Biasanya, para santri tengah belajar di sebuah rumah panggung kayu tak berdinding. Aku tak dapat memastikan bahwa Ust. Firman sedang mengajar atau tidak karena aku tidak searah dengan tempat belajar para santri.
Suasana yang yang sepi membuat suasana pagi di sini sedikit mengganggu. Total, hanya ada 15 orang tersisa yang tinggal di pesantren ini, sekarang. Itupun sudah termasuk 3 orang Ustadzah dan 3 orang pengajar pria. Praktis, hanya ada 9 orang santri di tempat kami. Karena hal tersebut, kami masih tidak dapat mendaftarkan pesantren ini sebagai lembaga pendidikan resmi, baik di kementerian agama, apalagi kementerian pendidikan. Bahkan, para santri kami tidak lebih dari penghuni panti asuhan yang dulu pernah diasuh oleh ayahku. Sedih rasanya jikalau harus mengenang semua cerita yang melibatkan ayahku.
Di gerbang pesantren yang mulai lapuk dimakan zaman, terlihat seorang perempuan dengan khimar (jilbab panjang) merah marunnya. Ia melambaikan tangannya padaku, kubalas dengan senyuman dan kupercepat langkahku.
“Assalamu alaikum Bu. Maaf bu, Tifa terlambat. Hehe”, ujar perempuan berumur 22 tahun itu.
“Ngga apa kok Tifa. Malah ibu yang harus berterima kasih karena kamu mau ngajar di tempat ibu walau bayarannya hampir ngga ada”, balasku.
“Ngga apa. Bu. Soalnya Tifa juga kan masih sementara nyusun penelitian. Rencananya, sekalian penelitian di sini aja sih bu”, jelasnya.
“Ya udah, ibu bukain pintu. Terus kamu bonceng ibu masuk ke kantor ya”, aku lalu menarik gerbang rel yang membatasi kami.
Nama lengkapnya Lathifa Rahmania, seorang mahasiswi semester 8 pendidikan agama Islam yang tengah dalam proses penyelesaian studi. Dia adalah mahasiswa yang rajin di kelas dan juga aktif berkegiatan sukarelawan. Setahun ini, dia memutuskan berhijrah dan berusaha memperbaiki diri jadi pribadi yang baik. Mengetahui aku, dosennya juga merupakan pengasuh di pesantren, ia banyak bertanya seputar agama kepadaku. Akupun sebenarnya baru sebulan ini melihatnya mantap mengenakan khimar.
“Kantornya di mana, Bu?”, Tanya Thifa saat aku naik di jok belakangnya.
“Di sana! Kamu ikutin aja jalan yang ini, nanti ada perempatan dekat mushalla yang lagi dibangun itu, kamu belok kiri”, jelasku.
*******************
“Assalamu alaikum”, sapaku ketika masuk ke dalam ruangan.
“Wa alaikum salam, Ustadzah”, jawab Ustadzah Isma dan Ustadz Farid hampir bersamaan. Hanya mereka berdua di di kantor.
“Ustadz Firman lagi ngajar ya?”, tanyaku pada Ustadz Farid.
“Eh. Iya Ustadzah. Dia baru aja masuk”.
“Ustadzah fahira di mana ya, Stadz?”, tanyaku lagi.
“Biasalah Ustadzah. Lagi di rumah, beres-beres”, balas Ustadz farid.
“Oiyya Ustadz. Ini Lathifa, pengajar baru yang saya ceritain tempo hari”,
Lathifa tersenyum sembari menganggukkan kepalanya kepada Ustadzah Isma dan Ustadz Farid.
“Wah, ternyata secantik yang dijelasin Ustadzah Hafsah, Ya”, Ustadz Farid reflek menggoda Lathifa.
“Huss. Jangan gitu ah, Stadz. Dia masih malu-malu”, aku merespon perkataan Ustadz Farid.
“Eh. Iya Ustadz. Saya Ustadz”, jawab Lathifa malu-malu.
“Udah makan Thifa?”, Ustadzah Isma segera menyambar pembicaraan.
“Udah, Bu…., Eh, Ustadzah”, jawab Lathifa terbata-bata.
“Hahaha. Kamu mau manggil pake ibu atau Ustadzah mah terserah Thifa. Ngajarnya yang semangat ya, walau pesantren kita juga kondisinya memprihatinkan begini”, Ustadzah Isma menimpali dengan nada sedikit lirih.
“Insya Allah, Ustadzah. Eh, Ibu. Anu, maksud saya, Ustadzah”, Lathifa mendadak grogi.
“Ya sudah, saya mau menyusul Ustadz Ikhlas dulu ya semua”, potong Ustadz farid.
“Eh, Iya Ustadz”, jawabku.
Ustadzah Isma berdiri dari tempat duduknya. Walau tidak mengajar pelajaran resmi, dia sangat rajin datang ke ruangan kantor dengan 5 meja ini. Dia menarik kursi yang masih kosong mejanya.
Nama lengkapnya Isma Fitriah, salah satu dari pengajar keterampilan di pesantren ini. Dia masuk pesantren ini sejak ia berumur 15 tahun. Bersama adiknya, Karimah, ia ditelantarkan oleh kedua orang tuanya di sebuah panti asuhan. Di pesantren ini, ia mengajarkan kemampuan jahit menjahit kepada para santri.
Isma hari ini mengenakan niqab berwarna biru muda senada dengan khimarnya yang dipadankan dengan gamis hitam beraksen biru yang membuatnya modis meski berpenampilan sederhana.
“Di pesantren ini, kita kebetulan punya buku panduan yang ditulis sama Kiai Zaman. Barangkali Ustadzah Hafsah udah jelasin ke kamu ya?”, Tanyanya pada Lathifa.
“Iya Bu. Eh, Ustadzah”, Lathifa masih Nampak gugup.
“Panggil ibu aja kalau begitu Lathifa”,
“I, Iya bu. Maaf”, jawab Lathifa terbata-bata.
“Berhubung pesantren ini hanya berlandaskan konsep yang dirancang oleh Kiai Zaman, jadi di sini para santri dididik berdasarkan berapa lama dia di sini. Sebenarnya ada beberapa yang pernah disekolahkan secara umum beberapa waktu lalu. Tapi, karena terkendala biaya, dikembalikan ke kami akhir tahun lalu. Makanya tahun ajaran ini, kami baru mulai semua tingkatan pembelajaran”, Jelas Ustadzah Isma.
“Jadi, karena itu. Di sini baru ada dua tingkatan pendidikan. Kami menyebutkan Rafiqah 1 dan Rafiqah 2. Materi belajarnya sama, hanya saja, yang Rafiqah 2 dikasih penjelasan secara lebih dan nantinya bakal dibimbing secara personal oleh pemegang pelajarannya”, jelas Ustadzah Isma sembari mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser.
“Jadi, santri di sini ada berapa orang, Bu?’, Tanya Lathifa.
“Rafiqah 2 itu ada 4 orang, rafiqah 1 itu ada 2 orang. Jadi, totalnya ada 6 orang”, balas Ustadzah Isma, singkat.
Melihat keduanya yang Nampak berbincang dengan seru, aku memutuskan untuk ke mejaku. Kutarik beberapa daftar nama calon donator yang kira-kira dapat membantu pembangunan mushalla dan tempat menjahit di pondok kami. Setelah ayahku meninggal, pimpinan pesantren diambil oleh Ustadz Farid, yang tidak lain adalah sepupuku. Dia merupakan anak dari pamanku yang sudah berpulang karena kecelakaan pesawat.
Seharusnya, aku lah orang yang menjadi pimpinan. Namun, karena sistem pesantren yang masih mewajibkan pimpinan adalah seorang lelaki, maka Ustadz farid yang mengajukan diri menjadi pimpinan. Sedangkan aku, menjadi seorang ketua yayasan untuk membantu pendanaan pondok ini yang semakin hari, kondisinya semakin memprihatinkan.
Untuk itu, akupun harus rela bekerja menjadi seorang dosen agar setidaknya, aku dan suamiku, Ustadz Ikhlas, tidak perlu mengandalkan gaji dari pesantren ini.
*****
Hari sudah sore, Lathifa sudah pulang. Para santri tengah bersiap-siap melaksanakan shalat maghrib. Aku berjalan menuju rumah Ustadz Farid untuk mengambil tanda tangannya terkait permohonan dana ke kementerian agama. Ketika aku tiba di depan rumahnya, aku disambut oleh Silvia yang tengah menyapu di teras rumah berdinding semen itu.
“Cari Ustadz Farid ya Ustadzah?”, tanya Silvia sembari memperbaiki khimar hitamnya yang digoyangkan angina.
“Iya. Dia ada di dalam ya?”, tanyaku langsung.
“Iya Ustadzah. Tadi ustadz bilang, kalau Ustadzah datang, suruh langsung masuk aja ke ruangannya”,
Melihat hari yang semakin sore aku bergegas masuk. Setelah mengucapkan salam, aku menuju ruangan yang dimaksud. Rumah ini berbentuk seperti lorong yang ujungnya merupakan ruangan yang dimaksud. Bersebelahan dengan dapur. Di dalamnya terdapat banyak buku yang aslinya merupakan koleksi milik ayahku. Ruangan itu hanya dilapisi oleh kain hitam.
Semakin dekat dengan pintu, semakin jelas apa yang Ustadz Farid sedang lakukan. Di kursinya, seorang perempuan membelakangi pintu dengan gamis putih yang tersibak hingga memperlihatkan kulitnya yang putih.
“Cup. Cup. Cup.”, Terdengar suara orang seperti sedang menciumi kulit.
“Auhhh. Ahhh. Iya. Oaahhh”, terdengar suara lirih dari perempuan yang Nampak membelakangi pintu itu.
Aku berdiri mematung sekitar 3 meter di depan pintu melihat pemandangan dua orang itu. Ustadz Farid jelas tidak dapat melihatku karena tertutupi oleh tubuh perempuan bergamis putih itu. Sejujurnya, aku sedang menikmati percumbuan keduanya. Sebab, suamiku, Ustadz Ikhlas, rasanya sudah lama tidak pernah mengecup payudaraku. Bahkan, sekadar menjamah tubuhku saja, tidak pernah ia coba lagi. Entah apa yang salah dengan diriku.
Sekitar semenit aku melihat kedua orang di depanku mendesis seperti ular, dari arah dapur, muncul Ustadzah Isma yang terkejut melihatku.
“Kenapa Ustadzah?”, tanya Isma yang memecah lamunanku melihat dua orang di dalam ruangan itu.
Bukan hanya aku, kedua orang itu juga kaget dan terburu-buru membereskan pakaiannya. Dari balik punggung sang perempuan, aku dapat melihat Ustadz farid mengintip.
[Bersambung]