Change?

:p
(Suara wanita)

“Jangan menyerah...”

“Jangan egois, Mengalahlah walau kamu menang...”

“Berbuat baiklah kepada semua orang...”

“Sayangilah mereka yang menyayangimu...”

...

...

...

“HAH!”

Aku terperanjat dari tidurku dan terduduk,...

“argh... jam berapa?” bathinku

“Huh, untung masih jam setengah lima pagi” ucapku lirih

Hah, hufth, selalu datang, tubuhku kembali rebah dan kutatap atap kamar tanpa ternit ini. Kupijat kepalaku sembari memejamkan mata sejenak. Hadeeeh, jari jempol kananku selalu basah.

“haaaah...” Kembali aku duduk, kusadarkan diriku sejenak. Kulihat kedua telapak tanganku ini.

“terima kasih selalu mengingatkanku...” ucapku lirih dalam kepedihan ini

Mimpi yang sama, mimpi yang sama selalu hadir semenjak aku menginjakkan kakiku ditempat ini. Segera aku keluar dari kamarku, masih ada dua kamar dikontrakan. Rumah kontrakan yang sangat sederhana dengan dinding tanpa semen, yang terlihat hanya susunan batu bata. Rumah ini beralaskan semen tanpa keramik.

Brak...brak... brak...

“Woi... sam tangi woi wes jam setengah limo (sam, bangun sudah jam setengah lima)” teriakku menggedor pintu kamar tengah dimana seorang temanku berada di dalamnya

“hoaaaarghhh.... Yoooghhh... ASU! Rak sah banter-banter leng (ya... ANJING! Ndak usah keras-keras babi hutan)” ucap samo dari dalam kamarnya, seorang sahabatku dari desa.

“ha ha ha... biasanya kamu ndak bangun kalau ndak keras ndut!” ucapku, sembari melangkah ke pintu kamar belakang

Brak...brak... brak...

“Njusssss! Bangun dah setengah lima woi!” teriakku

Tidak ada balasan...

“kelon palingan dia... hoaaaammm...” ucap samo yang keluar dari kamarnya

“kelon sama sapa sam?” ucapku

“kelon sama guling, kamu tahu sendiri kan kalau semenjak diputus sama pacarnya dikampung penjus sudah tidak dapat jatah lagi hoaaaam....” ucap samo merenggangkan kedua tangannya

Kleeek...

“matamu! asu kabeh! subuh-subuh wes gosip! (Matamu, anjing semua, subuh-subuh sudah gosip!)” teriaknya Justian setelah membuka pintu

“wasuuuu! bajingan! ceeleng! kampret!” Teriakku dan samo yang terkejut dengan penampilan justi

“DJANCUK! Ada apa- ada apa?” teriak justi yang melompat kearah kami karena terkejut mendengar teriakan kami berdua. Tepat ketika dia melompat kearahku, aku beri dia sebuah tendangan tepat pada perutnya hingga dia terjungkal didalam kamar.

“Aduh! Asu koe ar... loro ndul! (Anjing kamu ar... sakit ndul, ndul = gundul)” ucapnya, mencoba berdiri

“Lha tak kiro pocong cuk! (lha tak kira pocong cuk)” ucapku dengan gaya tangan hendak memukulnya

“duh gusti duh gusti, tak kira pocong, hufffthhh....” samo mengelus-elus dadanya

“semplak (rusak) kamu njus! Sarung warna putih, mbok kolongkan di kepala! Kaya pocong! ngerti ndak?!” bentak samo, mengepalkan tangan ke arah justi

“ampuuun kawan... aduh celeng (babi hutan) kowe su (kamu njing)! Sakit tahu!” ucapnya, mengelus-elus pinggang dan perutnya

“lha salah siapa coba?! Wedi tenan aku ki (takut beneran aku itu), kampret!” ucapku mendelik ke arahnya

Sejenak kami menenangkan diri kami, aku melihat ke arah justi yang masih mengelus-elus pinggannya. Samo dan aku masih mengatur nafas sambil mengelus-elus dada.

“lha kamu kok rapi, tumben pagi-pagi dah bangun?” tanyaku, kupegang daguku sembari melihat justi

“ngecret bro... mimpi basah...” ucap justi santai dengan gaya berdiri sambil mengelus-elus perut dan pinggangnya

“ha ha ha ha...” tawaku dan samo

“Owalah njus njus, otak kamu kecret (tercecer) di tempik yo?” ucapku

“matamu su!” ucap justian

“halah, bukan kecret tapi ketinggalan di tempik ha ha ha ha” ucap samo

“ato malah posisi otak kamu digantikan tempik? Huwakakakakkaka...” ucapku

“HASUH!... kono lek dang adus! (sana segera mandi)” ucap justi yang mengelus-elus boyoknya, dan masuk ke dalam kamar. kami berdua tertawa melihat tingkah justi.

“aku duluan ya sam?” ucapku melangkah menuju kamar mandi di bagian belakang kontrakan

“yoi bro... woi kalian mau kopi ndak?” ucap samo, yang melangkah ke ruang tamu kecil dimana disana kita selalu berkumpul

“jelas to bro ndak usah di tawari kalau itu” ucap justi dari dalam kamarnya dengan pintu masih terbuka

“sama pak dhe ha ha ha” ucapku

“aku tak tiduran bentar... wasu tenan (beneran), lorone puol (sakitnya banget)” ucap justian lagi

“mau lanjut mimpi basah ya bro?” ucap samo dari ruang tamu depan

“asu!” bentak justian, kami hanya tertawa

Kini giliranku mandi, biasa bangun pagi sudah menjadi kebiasaan kami di desa. Tapi mereka paling susah untuk dibangunkan, ya ini masih mending mereka bangun. Didalam kamar mandi, pikiranku melayang sembari membuang air besar masih teringat dalam otakku, kejadian-kejadian mulai dari bulan kedua hingga 3 minggu yang lalu, ketika itu...

oOo​


Ketika itu, Aku masih tinggal didesa. Desaku, tempatku tinggal, desa yang masih penuh dengan pohon-pohon rindang. Desa terpencil dari keramaian, jauh dari teknologi modern. Sekalipun ada, bukan teknologi yang benar-benar modern seperti orang-orang di kota. Desaku, tempat dimana manusia dan alam bersatu. Mobil yang berjalan disini juga sedikit, apalagi motor. Setiap pagi lebih banyak dari mereka mengayuh sepeda onthelnya, jalan kaki adalah hal yang lumrah. Sawah hijau masih terbentang luas, dihiasi sungai dan ada juga air terjun sebagai tempat santai namun butuh ratusan langkah serta tenaga untuk menuju ke tempat itu. Aku Arta, Arta Byantara Agasthya lengkpanya, Aku kelas XII SMA dan sudah dinyatakan lulus. SMA tempatku menggali ilmu adalah satu-satunya SMA di desaku dengan musuh dua sekolah kejuruan yang selalu mencari masalah.

Aku memiliki sahabat yang kental denganku, seperti susu kental manis. Namanya, Samo dan Justi, lengkapnya Samo Kuncoro dan Justi Mahendra Wasengan. Dua orang sahabat yang selalu menemaniku, Samo orangnya super gede sedangkan justi paling kecil dari kami dan paling lemot. Hari ini kami bertiga sedang berjalan menuju ke sekolah kami karena mendapatkan undangan dari guru BK kami. Sebuah undangan karena kami diterima di sebuah universitas yang kami sendiri tidak tahu menahu kalau kami mendaftar disitu. Kenapa kami tidak tahu? Ceritanya berawal dari bulan kedua.

Teptnya bulan kedua, di kelas jurusan IPA, terletak didepan koperasi siswa. Aku dan teman-teman kelasku sedang mendapatkan ceramah dari guru BK. Sebua ceramah mengenai Seleksi Penerimaan Mahasiswa Prestasi. Aku dan kedua temanku, samo dan Justi tidak begitu tertarik, karena pada dasarnya kami ingin langsung bekerja menjadi buruh atau kuli panggul di pasar. Hingga sebuah isian, isian yang hanya berisikan keinginan dimana kami ingin kuliah dan jurusan apa yang diinginkan. Aku mengisi sesuai dengan ceramah bu guru BK, kutuliskan sebuah universitas yang dia sebutkan paling awal dan juga jurusannya. Wajar, karena setelah nama universitas itu disebutkan aku langsung melamun memandang bagian luar kelas. Justi dan samo, mereka menuliskan nama universitas yang aku tulis dengan jurusan berbeda.

Ada sebuah kejadian ketika kami disuruh mengisi isian sederhana itu....

“sam, iki opo? (ini apa?)” ucap justi yang duduk didepanku

“martabak” ucap samo yang duduk disebelah justi, samo duduk dengan menaruh tubuh besarnya di meja. Sedangkan aku duduk sendiri karena sahabatku yang satunya telah pergi

“gundulmu, ini itu kertas sam, tapi disuruh ngapakno (diapakan)?” balas justi yang kuamati dari belakang

“dipangan (makan)” ucap samo, begitulah samo kalau menjawab asal nyeplos

“lho? Kok dimakan? Kertas bisa ya dimakan?” ucap justi, samo bangkit dan hendak menjawab

“saaaaam... sudah, ntar tambah ndak bisa mikir dia” ucapku ke samo

“memangnya dia bisa mikir ar, keberadaan otak dikepalanya saja patut dipertanyakan” ucap samo

“hasyah... dah to”

“jus...” panggilku, justi menoleh

“apa?” jawabnya

“itu kan ada tulisannya kan, isi data diri kamu, isi keinginan kamu mau kuliah dimana” ucapku

“lha? Aku kan ndak punya uang to ar” ucap justi

“Dah diisi!” bentakku

“iya... iya...” ucap justi, kembali dan fokus ke kertasnya

Hening sesaat saat itu, aku mengisi isian tersebut dengan nama universitas yang disebutkan pertama kali oleh bu guru.

“lha ini universitasnya diisi apa?” ucap justi

“ssssttt... just, diisi universitas pertempekan just” ucap samo jelas aku mendengarnya

“heh?! Ada itu sam? Dimana?” ucap justi, haaash... emang dasar otak kalau sudah kecipratan tempik

“saaaam...” ucapku, dan samo hanya tertawa saja. Samo kemudian mengambil kertas isianku.

“wah aku mau di universitas sama kamu ar” teriak justi ketika melihat kertas isianku

“emang dimana jus?” teriak seorang teman sekelas yang duduk di sudut kanan kelas

“Universitas Terbang Selam” Jawab Justi

“Memang otak kamu bisa mudeng disana? Ha ha ha ha...” ucap seorang dari teman sekelasku

“lho terserah aku to ya, hak-hakku...” ucap justi membalas dengan berdiri

“kamu itu ndak punya otak ha ha ha” ucap seorang teman sekelasku lagi dan membuatku emosi

“WOI! Ngomong lagi, pulang mbarangkang kowe (merangkak kamu)!” teriakku, ketika itu penuh dengan emosi

“Arta!” teriak bu guru dan langsung membuatku duduk

“Duduk dan isi, kalian semua tenang, kamu juga jangan asal-asalan ngomong” lanjut bu guru

Aku lihat si kampret yang menghina justi, dengan amarahku. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke arahku. Samo dan justi membalikan badan, sembari menulis dan mengembalikan kertas isianku.

“penjus saja yang dihina tenang-tenang saja kamu kok malah emosi to ar?” ucap samo

“lha kan de’e (dia)...” ucapku terpotong

“uwis, urip sing sareh ar (sudah, hidup yang sabar ar)” ucap samo, aku terdiam

“aku isi podo arta, tapi jurusanku bedo ya ar, jurusanku olah raga” ucap justi yang mencoba mengalihkan pembicaraan dan tak memandangku sedikitpun.

Sepulangnya dari sekolah aku hampiri teman sekelasku itu dan meminta maaf. Itu semua karena bujukan samo, lha mau gimana lagi? Samo orang yang paling bisa meredam amarahku.

Setelah bulan kedua, saat dimana aku sudah dinyatakan lulus, setelah 5 bulan aku mengisi isian tersebut . Tak ada harapan untuk kuliah disana. Tetapi setelah aku dinyatakan lulus, entah kenapa aku mendapat kabar jika aku diterima kuliah. Aneh bukan? Aku tidak mengumpulkan berkas yang diinginkan oleh bu guru. Kami masih melangkah menuju sekolahan, Rokok Dunhill bertengger di mulut, berjalan melewati sawah. Ketika kami melihat sebuah kereta kerbau, kami langsung nunut (nebeng) kerbau yang sedang menarik gerobaknya. Indah bukan, sekalipun aku merokok disini tak bakalan ada pemanasan global. Sesampainya disekolah...

“Selamat kalian mendapatkan beasiswa kuliah sesuai dengan yang kalian tulis” ucap bu guru diruang BK, ruang yang penuh kenangan. Ruangan dimana aku selalu mendapat skor tertinggi, karena rokok, perkelahian, dan juga pemerasan. Aku mendapatkan skor tertinggi, dengan jumlah 99 itu pun karena belas kasihan dari guru BK, sebenarnya sudah harus keluar. Samo diurutan kedua dengan nilai 90, sedangkan justi terpuruk di dasar klasmen dengan nilai 33. Kalau saja aku ikut liga, mungkin aku sudah juara liga.

“lho bu, kok bisa?” ucapku duduk ditengah-tengah antara justi dan samo

“ya bisa, nyatanya ini kamu dapat, ya sudah berangkat. Beasiswa kalian itu, dari biaya kuliah, kos, sampai uang saku ditanggung semua” ucap bu guru

“widiiiih lha yang saya heran bu, kok saya juga dapat?” ucap samo

“lha ibu juga heran, wong kamu itu peringkat 39 dari 40 siswa, itu justi juga peringkat 40 dari 40 siswa di jurusan IPA” ucap bu guru, kami saling berpandangan

“waaaah, salah ini bu, salah” ucapku

“kalau salah, lihat...” ucap bu guru, memperlihatkan daftar siswa yang diterima di universitas tersebut. Namaku, asal sekolahku, alamat rumahku serta kedua sahabatku tertulis jelas dan kami mendapatkan beasiswa penuh. Tapi tunggu dulu, kenapa hanya tiga orang yang mendapatkannya dan kenapa informasi ini datangnya telat? Sebuah pertanyaa yang akhirnya aku lupakan.

“kok Cuma tiga orang bu? Yang lain?” ucapku

“eh, itu... pokoknya kamu dapat beasiswa” ucap bu guru BK-ku, kelihatan sedikit gugup

“ini besok dibawa kalau berangkat kesana, ini semua dari universitas tujuan kalian” lanjutnya bu guru sembari memberikan sebuah stoffmap

Aku dan kedua sahabatku membukanya, ada sebuah buku tabungan, amplop, dan berkas-berkas lainnya. Dan memang jika aku lihat kembali, semua memang menunjukan kalau aku diterima disana. Bahkan disitu juga dituliskan kalau aku mendapat beasiswa yang menanggung hidupku di ibukota. Yang membuat heboh adalah samo dan justi, yang malah tertawa terpingkal-pingkal.

“lha kalian malah ketawa kenapa?” ucap bu guru

“ha ha ha ini lho bu ha ha lucu, beasiswanya prestasi ha ha ha” tawa samo,

“lha kamu just kenapa ketawa” ucap bu guru

“heh? Ndak tahu bu, ikut-ikutan samo saja bu” ucap justi yang membuatku tertawa

“sudah... sudah, minggu depan kalian berangkat... ini tiket keretanya, kalian nanti bakal diantar sama bapak satpam. Bu guru ikut senang, justi dan samo jaga arya ya, terus terang ibu bangga kalian bisa kuliah. Teman-teman kalian sekelas ada yang dapat tapi tidak beasiswa penuh. Dan kalian malah dapat penuh, kalau nanti sudah kuliah perbaiki sikap kalian ya” ucap bu guru BK-ku yang tiba-tiba menitikan air mata.

“bu... jangan nangis bu, ibu sedih ya? merasa kehilangan kita?” ucapku ikut sedih

“gundulmu sedih! Ibu itu malah bahagia kalian kuliah! Ndak ketemu kalian lagi yang selalu bikin masalah, pusing ibu mikirin kalian. Ini tangis kebahagiaan ibu karena ibu ndak bakal lihat kalian lagi yang selalu buat onar saja!” ucap bu guru

“yaaaaah... segitunya bu, kalau ndak ada kita ndak asik lho bu, ndak ke kantor polisi. Ndak urusan sama pak tentara, ndak urusan sama preman pasa lho bu” ucap samo

“lha gundulmu! Ibu itu mesti ketakutan tahu tidak? Dah dah pulang sana, siapin pakaian dan apa yang diperlukan untuk berangkat, cepetan! Ibu sudah puas lihat wajah onar kalian” bentak bu guru BK-ku

“Huwaaaaa... Lariiii broooo.... ntar suruh bersih-bersih sekolahan...” teriak samo yang langsung berdiri, diikuti aku dan justi. Ketika kami melangkah keluar ruangan.

“arta, justi, samo...” panggil bu guru, kami menoleh

“selamat... hiks... jangan lupa jika sudah sukses, bantu adik-adik kamu biar bisa dapat kuliah seperti kalian hiks... hati-hati...” ucap bu guru

“Ibuuuuuuuuuuuuuu.... hiks...” ucap kami menangis melangkah kembali menuju ke bu guru BK-ku, tapi...

“cepaaaaaaaaat pulaaaaaaaaang!” teriak bu guru

“WAAAAAAA...” teriak kami bersamaan, kulihat senyum bu guru dan anggukan kecil dari kepalanya. Walau kata-katanya seperti itu, kami tahu Bu Guru kami yang selalu kami repotkan itu adalah guru terhebat kami.

oOo​


Akhirnya kami semua sampai disini tiga minggu yang lalu. Dua minggu setelah kami mendarat di kota besar ini, kami mengikuti massa orientasi pengenalan kehidupan kampus. Tiga minggu setelah mengikuti masa pengenalan kampus, hari ini, ya hari ini, aku akan mengikuti kuliah untuk pertama kalinya.

BRAK....BRAK....

“jancuk! Suwe men ar, kowe gek opo? (lama sekali ar, kamu sedang apa?)”

“ngising? Cokli? Opo golek wangsit? Opo malah jangan-jangan kenthu karo bolongan kran? (BAB? Cokli? Atau cari wangsit? Atau malah jangan-jangan nkenthu sama lubang kra?) ” teriak samo dari luar kamar mandi

“kampret! Pelan napa sam? Lagi ngecat kamar mandi, sama pasang tipi!” balasku sekenanya

“cempeeee... cepet ndul!” teriak sammo

Segera aku mandi dan menyelesaikan mandiku. Kini giliran samo mandi dengan wajahnya setengah ngantuk. Pukulan kecil aku dapatkan dikepalaku. Arghhh, segaaaar.... Bangun pagi itu bagus, karena dengan bangun pagi rejeki kita ndak dipatok ayam apalagi tubuh semakin sehat kata orang dulu itu. Aku segera berganti pakaian, berdandan dan menunggu mereka keluar dari kamar masing-masing. Acara pagi selalu ngopi bersama jikalau gula tinggal sedikit saja kita cukup buat satu kopi saja dan join bersama. kalau benar-benar habis, biasalah kita ngopi pahit. Meninggalakan sahabatku ngopi sendirian di pagi hari? Weit, kamus modern itu kali, kamu kuno tertulis, “selalu nikmati harimu dengan sahabatmu”. Begitu katanya, dan kami melakukannya.

Sudah hampir dua minggu aku di ibu kota negara ini. Sebuah ibu kota yang penuh dengan kemacetan, polusi udara, dan terkhir adalah panas. Tapi untungnya aku dan sahabatku mendapatkan kontrakan yang mana masih ada unsur desa-desanya, cuma 30 rumah yang tinggal disini itupun sudah termasuk rumah yang aku tempati dan rumah kosong mewah yang ada disamping kami. yah, masih kental-lah dengan kekeluargaannya kalau di kompleks kontrakanku, jadi kalau sama orang masih bisa nyapa ngobrol dan lain sebagainya.

“gimana sudah cocok?” ucap samo, yang keluar dari kamarnya dengan dandanan sesuai dengan kesepakatan kita

“siiip...” ucapku sambil mengacungkan jempol

Samo, nama lengkapnya Samo Kuncoro. Orang tuannya penggemar berat samo hung, jadi bisa kamu bayangkan kan si samo itu seperti apa? Tinggi 180 cm dengan berat badan 120 Kg, ideal bukan? Well, apapun bentuk sahabatku aku selalu bahagia dan ingat dia sahabatku. Samo merupakan orang yang selalu bisa membuat candaan, apalagi karena tubuh tambunya. Dia kalau ngomong ceplas-ceplos, tidak ada istilah “tedeng aling-aling” atau lebih tepatnya tidak ada rem untuk mengerem ucapannya.

“gimana denganku?” ucap justian keluar dari kamarnya sembari menyisir rambutnya

“gila, tambah ganteng kamu bro!” teriakku

“koyo gigolo nda ha ha ha (mirip gigolo nda ha ha ha)” ucap samo

“ah, cangkemmu gopak tai su! (mulutmu kena tai njing!)” balas justian

Justian, nama lengkapnya, Justian Mahendra Wasengan, panggilannya ya sekenanya kadang jus-lah, penjus apasajalah kadang dipanggil anjing dia juga noleh kok, beneran coba saja. Tentang Justian, perawakannya pendek lebih pendek dari kami berdua karena tinggiku 179 cm terpaut satu senti meter dengan samo. Kalau dibilang dia itu paling “ho’oh, ho’oh” alias telmi, telat mikir tapi kalau sudah ketemu cewek jangan salah. Dia dihadapan kami berdua sangat-sangat ndak mudengan, tapi kalau didepan cewek wuiiiih... bijaksananya melebihi hakim, kata-katanya terstruktur bahkan bisa dibilang jadi orang elite. Itulah sahabat-sahabatku, kami bertiga entah kenapa mendapatkan beasiswa untuk kuliah di universitas yang sama. Universitas Terus Bangkit Selalu Bersama disingkat Universitas Terbang Selam.

“rokok bro, ngirit ya, masing-masing satu ndak boleh lebih secara uang saku belum keluar juga sampai hari ini. nek (kalau) bisa, satu hisapan saja ha ha ha ha” ucap samo

“ngenes men sam? Biasa ae rak wis, kan yo bakalan entuk kiriman, nek entuk (ngenes sekali sam? Bisa saja kali, kan ya bakalan dapat kiriman, kalau dapat” ucapku

“kiriman opo ndes? (kiriman apa ndes)” ucap justian

“kiriman lonthe ha ha ha” ucap samo

“kampret!” umpat justian

“kiriman uang ke tabungan kita, yang ada kartu ATM-nya jus” jelasku

“betul juga, kita sudah dapat ATM dan buku tabungan terus buat apa coba?” ucap justian

“ya buat ambil uang to njuuuuus njus” ucapku

“moso buat cokli? Wakakakakkaka” ucap samo, dan aku pun ikut tertawa

Hening sesaat setelah tawa kami, justi hanya diam dan membuang muka...

“kamu tahu caranya ambil uang di ATM?” ucap samo

“kalau pelajaran mengenai ATM dulu sudah pernah dikasih, tapi kalau cara ambilnya belum tahu. Masuk ke ATM saja belum pernah sama sekali. lha kamu?” ucapku

“sama saja... lha terus gimana coba? Malah jangan-jangan uang kita sudah dikirim ke tabungan kita tapi kita ndak bisa ambil uang. ATM-nya ada didekat sini tapi Bank-nya kan jauh” ucap samo memandang kami semua. Sejenak kami saling berpandangan...

“hadeeeeeeeeeeeeeehh... wong ndesoooooo...” ucap kami bersama sambil geleng-geleng kepala

Asap-asap kembali menyelimuti ruangan tamu tanpa kursi ini, bahkan TV saja tidak ada. Dalam keheningan dan kebodohan, kami terus berpikir bagaimana cara mengambil uang di ATM sedangkan uang sudah menipis. Kalau tanya orang takutnya aduuh... ini kan kota besar, nanti kalau di bohongi dan dihipnotis gimana?

“ya sudah kita berangkat saja dulu, yang penting kita masih bisa makan. Masalah bagaimana cara mengambil uang di ATM gampang, kita cari orang baik, pasti ada...” ucapku

“setuju pak dheeee...” ucap mereka berdua, aku berdiri

“woi, pakai ini...” ucap justi, melempar dua buah kaca mata bulat

“ingat, kita lupakan masa lalu kita dan memulai hidup baru sebagai orang yang baru. Masa lalu sudah hilang, okay?!” ucap samo membuatku sedikit tertegun

Aku keluar dan memakai sepatu bersama mereka berdua disampingku. Aku terhanyut akan ingatanku di masa lalu, masa lalu ya semua orang memilikinya. Karena masa lalu kita ada disini, karena masa lalu kita bias bangkit dan menginjakkan kaki kita di hari ini.

Sebuah perjalanan yang benar-benar tidak pernah kami bayangkan. Aku, samo dan justi tiga orang yang benar-benar mengalami nasib beruntung bisa kuliah di universitas ternama di ibu kota negara. Kami bertiga termasuk orang yang sudah kehilangan ayah, samo dan justi kehilangan ketika mereka baru berumur 7 tahu sedangkan aku, entahlah, dari penuturan ibuku Ayahku masih hidup tapi entah kemana. Sebuah pertanyaan yang selama ini aku pendam, walau kadang aku selalu menanyakan kembali ke ibuku saat itu.

Namun, ibu selalu menjawab bahwa ayah pergi ke kota, ke sebuah kota yang penuh dengan hiruk pikuk keramaian. Entah kota apa itu, tapi jika aku melihat semua kejadian akankah aku menemukan ayahku di kota besar ini? kota yang menjadi ibu kota negara. Mungkin memang ada harapan untuk menemukannya tapi aku sama sekali tidak mengharapkannya. Itu berbanding lurus dengan dia yang tidak pernah menemuiku sama sekali.

Hal yang paling membuatku tercabik-cabik adalah ketika kami semua kehilangan ibu kami bersamaan. Dalam kesendirian, kegelisahan, biasanya aku bisa bercengkrama dengan ibu mengenai rasa sekolah dan bermain. Namun, setelah ibu tidak ada, aku sudah tak pernah lagi bisa bercengkrama. Aku kemudian diasuh oleh kakek dan nenekku, begitupula samo dan justi yang diasuh oleh kakek dan neneknya masing-masing. Tapi mungkin memang jalan dari nasib kami, mendapat beasiswa, mereka menjual apa yang mereka punya, tepat 3 hari sebelum keberangkatan, mereka semua juga ikut menghilang dari dunia ini bersama ibu-ibu kami.

“sudahlah...” ucap samo, menepuk punggungku

“maaf... hanya teringat saja...” ucapku

“kamu lebih beruntung karena mungkin saja kamu bisa menemukannya di kota ini” ucap samo

“benar kata samo, kamu berbeda dengan kita berdua. Kita itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi sedangkan kamu massssssih punya kesempatan jadi tetap semangat bro” ucap justi, aku dan samo memandangnya

“otaknya muter ar...” ucap samo

“arghhh... sudah ah, kalian ngomongnya malah kemana-mana, kalian masih punya aku sebagai sahabat dan keluarga kalian. Lagipula, mencari yang sudah hilang ha ha ha... memang dia mau menerimaku? Sudahlah, ingatanku bukan tentang mereka..” ucapku

Hening sesaat...

“sudahlah, aku tidak mengharapkannya... dan aku masih punya kalian, tul ndak?” ucapku tersenyum, memandang mereka

“ha ha ha ha...” tawa kami bersama

“yang penting disini kita kuliah, Kuliah memang cita-cita kita tapi ingat, satu diantara cita-cita kita... tetap kuat bro!” ucapku sambil mengangkat tanganku ke atas

“YOOOO!” teriak mereka berdua

“walah, mas-masnya semangat sekali. Mau kuliah ya mas?” ucap seorang bapak-bapak yang lewat di depan rumah kami dengan rokok berada ditangan kanannya

“Iya Pak ERTE... doakan kami sukses ya pak?” ucap samo

“wooo ya jelas didoakan, sudah cepat nanti terlambat lho...” ucap pak RT

“inggih... eh iya paaaak” jawab kami serempak

Kami berdiri dan lagsung menghampiri pak RT, satu-satu dari kami salim dengan pak RT. Ya cium tangan sebelum berangkat biasa kita lakukan selama didesa. Kami kemudian menuju ke halte bis terdekat, ingat terdekat dengan jarak hampir 1 Km. Kami naik bis yang cukup kosong di awal tapi setelah berjalan beberapa saat, penuh, dan sesak. Aroma wangi, aroma apapun itu ada di dalam bis kota ini. Lama perjalanan sekitar 45 menit hingga sampai di universitas terbang selam.

Akhirnya aku meninggalkan komplek kontrakanku. Sebuah kompleks, jika dari jalan raya terdapat gang masuk, yang pas untuk 1 mobil dan 1 orang berjalan. Di ujung gang terdapat sebuah perempatan, kekiri adalah arah kontrakanku yang dapat dilihat dari perempatan. Kalau ke kanan adalah arah rumah Pak RT tapi kalau rumah pak RT masih belok kanan, terus hingga mentok, rumah ujung dan kanan jalan. Lurus, dari perempatan, mentok, ada sebuah pos ronda, jadi sebenarnya rumah pak RT menghadap langsung ke pos ronda. Ya itulah kompleksku, hanya dua rumah itu yang aku tahu.

“ediyan, wasuuuh... celes (plesetan celeng, babi hutan)... sama saja dari kemarin sampai sekarang, penuh banget bis itu” ucapku, sambil memegang kedua lututku. Samo duduk di trotoar diantara aku dan just sedangkan justi berdiri dengan memegang kedua lututnya berhadapan denganku

“iya bro hash hash hash... aku ndak bisa nafas” ucap samo

“lha badan kamu itu geringke sitihik (kurusin sedikit) hash hash hash...” ucap justian

“hasyah... emang bawaan lahir ini jus, daripada kamu dari dulu sampe sekarang gak tumbuh-tumbuh!” balas samo

“sudah-sudah, ini sudah hampir masuk, ayo cepet” ucapku ketika justi hendak membalas ucapan samo

“iya bro, jangan sampai salah lagi ikut ke kampus kami ha ha ha” ucap samo

“raimu! (wajahmu!)...” ucapku dan langsung berpisah dengan mereka yang berajalan berlawanan arah denganku. Dalam langkahku aku sedikit ingat akan sesuatu yang menggelikan, kejadainnya setelah aku turun dari bis juga...

oOo​


“sam, lha iki kau kudu ning ndi? (lha aku harus kemana?)” ucapku setelah turun dari bis

Ke kota besar tanpa ada petunjuk sama sekali. Aku dan kedua sahabatku bingung, untungnya pak RT memberitahuku harus naik bis apa dan turun dimana. Jujur saja setelah sampai di kota, aku dan kedua sahabatku hanya menuju ke rumah kontrakan dan berdiam diri disana. Tidak keluar atau bagaimana, hanya diam. Karena di amplop tersebut tertulis tanggal masa orientarsi pengenalan kampus saja dan tidak diharuskan daftar ulang karena daftar ulang sudah ada yang mengurusi.

Sebenarnya beasiswa itu seperti itu ya? atau bagaimana? aku sendiri tidak tahu. Yang jelas, dari penuturan pak satpam yang mengantar kami ke stasiun waktu itu. Kita cuma datang kekontrakan saja dan menunggu hingga masa orientasi. Nah, karena cuma menunggu, ya kaya gini ini jadinya, aku ndak tahu harus kemana. Disitu juga tertulis, ketika ospek disuruh memakai pakaian putih-hitam saja.

“aku yo ndak ngerti ar, coba sebentar ar” ucap samo

“heh iki ning ndi? (heh ini dimana?)” ucap justi

“MENENG! (DIAM!)” teriak kami berdua ke justi

Aku dan samo melihat sebuah papan denah. Disana tergambar sebuah denah lokasi universitas. Aku dan samo melihat dengan seksama denah tersebut.

“sam, berarti aku kesana? Lha aku ndak ada temennya” ucapku, sembari menunjuk sebuah kotak bertuliskan MIPA di denah tersebut

“apa kamu ikut aku saja ar?” ucap samo, merangkulku

“lha aku ikut siapa?” ucap justi

“MAK LAMPIIIRRRR!” teriak kami berdua

“heh?! Emoh aku emoh, aku ikut kalian saja” ucap justi

“hadeeeeeh...” ucap kami berdua

“gimana ar, ikut aku saja. kan kita sama universitasnya, berarti kegiatan pengenalan kampusnya sama kan? Dulu waktu SMA kan juga gitu, kelasnya beda tapi kegiatan pengenalan sekolahnya sama” ucap samo

“wah benar juga...” ucapku, manggut-manggut

Lalu... aku mengikuti samoenuju ke fakultasnya. Kami mengikuti acara ospek secara bersama-sama. Di awal, Kami dibentuk sebuah kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari mahasiswa yang dipanggil oleh kakak kelas. Karena namaku tak ada yang memanggil aku langsung ikut saja ke kelompok samo dan justi. Setelah kelompok terbentuk, kami disuruh duduk di paving yang panas. Seorang pendamping mendaftar kembali mahasiswa yang didampinginya. Satu persatu dipanggil...

“Lho heh! Kamu siapa?” ucap kaka kelasku

“sa sa saya arta mas” ucapku

“Arta? Sebentar...” ucap kakak kelas yang kemudian menuju ke pendamping-pendamping kelompok lainnya. Aku melihat dia sedikit heran denganku.

“ARTA! SINI!” teriak kakak kelas

“sa sa saya mas?” ucapku

“iya kamu, lha siapa lagi, cepetan!” teriak kakak kelas, aku berjalan membungkuk dan segera menghampiri kakak kelas

“kamu itu di daftar mahasiswa baru gak ada nama kamu, kamu itu mahasiswa atau bukan?” ucap kakak kelas

“sa sa saya mahasiswa mas” ucapku

“lha gak ada nama kamu, kalau kamu mahasiswa ya jelas ada di daftar fakultas olah raga” ucap kakak kelas

“eh... itu anu mas, sa saya fakultas MIPA” ucapku

“HAH!” teriak semua pendamping disitu dan juga panita

“lha kok malah kesini?” ucap kakak kelas lainnya

“lha lha lha kan universitasnya sa sama mas. Ber berarti kegiatannya kan sa sama. jadinya saya ikut teman saya mas” ucapku, mereka tertawa cekikkan. Kemudian seorang lelaki datang, dia memperkenalkan dirinya sebagai ketua panitia. Setelah tahu ceritannya, dan melihatku...

“ya sudah, kamu tunggu disini... aku akan hubungi panitia di MIPA” ucapnya, aku berdiri bergaya seperti orang yang benar-benar bodoh. Para pendamping dengan dandanan yang sangat berbeda dengan orang-orang desa, melihatku dengan sedikit tertawa. Kemudian selang beberapa saat..

“Ar, kamu boleh ikut disini, tadi aku sudah menjelaskan ke panitia MIPA tentang kamu dan karakter kamu. mereka memeperbolekannya...” ucap ketua panitia

“boleh ikut sini pak ketu?” ucap kakak pendamping

“sudah, gak papa lu lihat sendiri orangnya kaya apa? Dah biarin dia ikut sini, lagian kalau dia suruh ke MIPA bisa nyasar entar. Gak masalah, biar nanti dia sendiri yang adaptasi dengan kampusnya” ucap ketua panitia kepada seorang mahasiswa lainnya

Dan ya, akhirnya aku harus ikut di ospek Samo dan Justi. Beruntung bukan aku? Kalau dari yang aku dengar memang aku dapat dispensasi karena penampilanku tidak memungkinkan untuk kembali ke MIPA. Jadi diperbolehkan ikut selama masa orientasi pengenalan kampus.

oOo​


Ha ha ha... kalau aku ingat lagi memang membuatku tertawa. Ups, gayaku harus kembali menjadi culun lagi. Ayo arta, kamu pasti bisa... dan aku kembali melangkah menuju tempat dimana aku harus kuliah, fakultas MIPA.

Letak kampusku dengan halte bis memang sedikit jauh, kurang lebih jalan kaki bisa 5-10 menit dari halte bis. Lebih beruntung aku dibanding justi dan samo yang harus berjalan 20 menitan. Dengan kaca mata bulat besar, rambut di sisir pinggir, celana naik hingga perutku, tubuh sedikit membungkuk memeluk buku dan kemanapun aku selalu membawa buku untuk aku peluk. Dan gelang yang terbuat dari karet yang biasa aku pakai biasanya aku naikan hingga ke lenganku. Itulah gayaku sekarang, mungkin ini cara satu-satunya bagiku agar tidak seperti dulu lagi... hanya itu.

Aku melangkah ke arah kampus, sebuah gapura masuk dengan sebuah tulisan “MIPA“ melengkung diatasnya berada didepan gedung kampus. Jalan berpaving, setelah gapura, dengan kanan kirinya tempat parkir yang lumayan luas. Anak tangga berlapis ubin di ujung jalan berpaving, mengantarku hingga didepan sebuah gedung. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tulisan yang terpampang di moncong depan gedung yang bisa dijadikan tempat berteduh.

Jalan menjadi gelap dan teduh, jarak antara pintu masuk ke gedung dari pertama kali aku merasakan adem, lumayan jauh. Bagian dalam seperti sebuah aula, cukup luas dengan beberapa tulisan petunjuk menuju ke arah lantai dua dan tiga gedung ini. Lantai dua, untuk administrasi (tata usaha), perpustakaan. Lantai tiga, ruang dosen, ketua jurusan dan ruang rapat, begitu yang tertulis di papan petunjuk. Aku melewati sebuah tangga menuju ke lantai atas, menuju ke sebuah pintu yang terbuka lebar. Langkahku masih bingung, asing tak tahu harus kemana. Tak pernah aku melihat tempat ini sebelumnya. Berdiri, bingung, tak tahu arah.

Bugh...

EPISODE 2

DOWNLOAD VIDEO MESUM TERBARU