Sluuurp sluurppp sluuurpp
Lidah kami beradu. Aku menindih tubuh Gita dengan tubuhku. Payudara besarnya bergoyang berirama dengan payudaraku yang menekannya dari atas. Aku menarik celana pendeknya serta celana dalamnya sekaligus. Gita mengangkat pantatnya sedikit sehingga bisa terlepas dengan mudah. Aku meraba selangkangannya. Sangat basah. Dengan mudah jariku menari-nari, memberikan kenikmatan yang luar biasa pada teman sekamarku ini.
Schlick shilck schloop
“Ah ah ahh. Vani. Vanii,”
Racauan Gita membuatku mempercepat gerakan tanganku. Kujilati bagian dalam mulutnya dengan rakus. Paha Gita mengapit tanganku dengan erat, tapi aku tidak berhenti. Tubuh Gita bergetar hebat selama beberapa saat. Dengan sabar aku menunggu Gita menikmati orgasmenya sambil mencium bibirnya lembut. Aku melirik jam pada hp ku.
“1 menit 39 detik. Rekor baru.”
“Vanii jangan diitungin! Kamu sih ga bisa pelan-pelan,” rengek Gita.
“Kamu yang terlalu mesum Git. Gampang banget keluar.”
Gita memandangku cemberut. Kedua tangannya terulur ke arahku. Aku menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Gita memelukku erat.
“Udah ya anak manja, nanti telat kita kuliah,” ujarku sambil melepaskan diri.
Gita dengan setengah hati melepaskanku. Aku membelai kepalanya, lalu bangkit berdiri.
“Aku mandi duluan ya Git.” ujarku.
Aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku melihat ada sisa-sisa lendir di sela-sela tanganku. Dengan cepat aku mencuci tangan.
“Jijik,” gumamku pelan.
Aku menyabuni tubuhku dua kali, menggosoknya dengan bersih, memastikan tidak ada aroma tubuh Gita yang menempel di tubuhku.
—----------
Aku mengetuk dan menunggu di depan sebuah pintu rumah. Seorang pria kemudian membuka pintu, lalu aku langsung memeluknya erat.
“Wow wow wow. Tahan dulu tahan,” ujar Doni sambil mendorong kepalaku menjauhinya. “Ngapain ke sini?”
“Pengen ketemu kamu Don,” jawabku. “Boleh kan?”
Doni menggaruk kepalanya. Ia tidak menjawab, tapi mempersilahkan ku masuk melalui gerakan tubuhnya. Aku masuk dengan riang, namun bau asap rokok tiba-tiba memenuhi indra penciumanku. Aku melihat di dalam rumah banyak teman-teman Doni sedang berkumpul. Aku menunggu Doni duduk, lalu duduk di sebelahnya, kemudian bersandar di pundaknya.
“Ntar dulu ya Van. Gue lagi nge game,” ujar Doni sambil mengambil hpnya.
Kesal dengan sikap cueknya, aku lalu mengeluarkan hpku, bersiap menggunakan senjata rahasiaku.
“Don, liat deh,”
Muka malas Doni perlahan berubah penasaran ketika melihat ke layar hp yang kujulurkan.
“Anjing, ini Gita??” teriak Doni. Teman-teman Doni serempak menghampiri dengan penasaran.
Layar hp ku menampilkan video rekaman aku dan Gita semalam yang kurekam dengan diam-diam.
“Gila lo keren Van. Akhirnya kesampean juga liat Gita bugil. Buset toketnya gede banget asli. Pentilnya nafsuin!”
Aku senang karena dipuji oleh Doni. Walaupun aku harus rela menggoda dan bercinta dengan Gita agar bisa memperoleh rekaman ini, aku mau melakukannya demi membuat Doni senang. Dia sudah lama terobsesi dengan Gita. Selain itu, aku berharap Doni juga akan jijik melihat Gita bercinta dengan sesama perempuan. Namun sepertinya itu tidak sesuai harapanku.
Doni membuka celananya, mengeluarkan penisnya yang mengacung keras. Aku seperti terhipnotis dengan pemandangan itu. Penis yang sudah lama tidak aku lihat dan ku rasakan. Doni mulai mengocoknya, namun kutahan dengan tanganku.
“Don, aku aja,”
Doni melepaskan tangannya, membuat posisi duduknya lebih rileks, lalu fokus pada layar hpku yang dipegangnya dengan kedua tangan. Aku berlutut di hadapannya dan mulai membelai, menjilati, mengulum, mengeluarkan semua teknik yang ku tahu untuk membuat Doni merasa enak. Penisnya terasa keras dan hangat. Aku melirik ke arah Doni, namun matanya tertutup oleh hpku. Dia sama sekali tidak melihat ke arahku.
Tak lama, penis Doni dalam mulutku berdenyut, lalu secara berirama menyemprotkan cairan ke dalam mulutku. Aku menghisap dan menelan semuanya. Menjilati ujung sampai pangkal, memastikan tidak ada yang tercecer.
“Dah Van cukup,” lagi-lagi Doni mendorong kepalaku menjauh.
“Don, yuk lanjut,” ucapku manja, menarik tangannya.
“Ga deh Van, gue lagi nikmatin videonya nih. Kalau bisa nanti lo rekam lagi ya Gita lagi mandi kek, atau lagi colmek kek. Lo kirim video ini ke hp gue ya.”
Aku kecewa karena tidak bisa merasakan penisnya dalam tubuhku.
“Don, lo bener-bener terobsesi sama si Gita ya,” ujar salah satu teman Doni yang aku tak cukup peduli untuk ingat namanya.
“Haha bukan gue doang kan. Lo semua juga tiap hari coli bayangin si Gita. Tenang nanti gue share videonya.”
“Itu bener Don. Tapi lo sampe cuek banget sama si Vani. Padahal si Vani juga ga kalah mantep sama si Gita. Diajak ngewe aja lo tolak. Eh Van, mending lo cari pacar lain deh. Kayak gue gitu haha.”
Mendengarnya saja aku mual.
“Woy, dia bukan pacar gue. Dia cuma pernah gue pake dulu, eh malah jadi tergila-gila sama gue haha.”
Ya, itu benar. Tapi aku benar-benar mencintainya.
“Parah lo Don. Mentang-mentang ganteng. Kita juga mau ngerasain cewek kayak Vani. Bosen sama perek melulu.”
“Lah kalo lo mau pake aja si Vani. Ga liat tadi dia udah sange berharap dikontolin?”
“Hah beneran boleh Don? Gue hajar ya?” tiba-tiba teman-teman Doni semua berfokus padaku.
“Don apaan sih, gamau. Aku tuh cinta sama kamu Don, ga bisa sembarang– AAAH!” Protesku terpotong karena tiba-tiba aku merasakan remasan pada dadaku.
Ku lihat salah satu teman Doni sudah berada di sampingku. Aku bangkit berdiri lalu berlari, namun ujung kakiku tertangkap, membuatku hilang keseimbangan lalu jatuh. Aku diseret kembali menjauh dari pintu. Berpasang-pasang tangan dengan sigap membatasi gerakan tangan dan kakiku.
Mereka menjamah bagian-bagian tubuhku dengan seenaknya sambil tertawa-tawa. Aku menjerit, namun dengan segera mulutku didekap dari belakang. Bajuku dilucuti satu persatu sampai tidak tersisa. Kakiku dibuka paksa. Aku meronta, namun tangan-tangan ini mencengkramku dengan kuat. Aku tidak bisa bergerak, tidak bisa teriak, dan tidak bisa merapatkan kakiku. Akhirnya, dengan mudahnya mereka memasukan penis mereka ke dalam vaginaku. Mereka memasukkannya dengan kasar dan tanpa ampun. Tangisanku tidak mampu membuat mereka melepaskanku. Dengan putus asa aku mencari Doni, dan mendapati dia sedang duduk santai di sofa, menonton video sambil memainkan kelaminnya.
—----------
Entah sudah berapa lama aku memandangi langit-langit rumah itu. Tubuhku bergoyang seirama dengan sodokan laki-laki yang sedang memakaiku. Tubuhku penuh dengan bekas cengkraman tangan, hisapan, dan tamparan. Wajah, dada, perut, dan vaginaku penuh dengan sperma yang dikeluarkan dengan sembarangan. Beberapa diantara mereka bahkan sudah bosan, kembali merokok dan melakukan aktivitas masing-masing, seolah tidak ada seorang wanita yang sedang diperkosa di sana. Beberapa masih bersemangat mengerjai tubuhku. Untungnya, tubuhku merespon perkosaan ini dengan mengalirkan pelumas pada vaginaku, sehingga aku tidak merasa terlalu sakit. Bahkan, mereka juga mampu membuatku orgasme berkali-kali, yang selalu disambut dengan ejekan dan hinaan mereka. Semua adegan ini diabadikan dengan hp mereka masing-masing.
“Ahh”
Satu orang lagi menyemburkan spermanya di dalam vaginaku. Hanya berselang berapa detik setelah orang itu berdiri, orang lain dengan segera menggantikan tempatnya. Terus-menerus, seperti lingkaran yang tidak pernah putus. Air mataku sudah lama kering. Mulutku sudah tidak bisa mengeluarkan suara. Hanya vaginaku yang masih bisa mengeluarkan pelumas alami, sehingga aku masih bisa merasakan orgasme demi orgasme. Hari sudah gelap. Saat orang-orang yang memakaiku sudah lemas, orang-orang yang tadi sudah bosan kembali menghampiriku. Aku kembali dipakai oleh orang-orang ini dengan seenaknya. Tidak ada yang memperdulikan perasaan atau kondisiku.
Saat terbangun, aku berbaring telanjang bulat di tempat yang sama. Aku lemas tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhku sakit. Ku dengar ada suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku hanya bisa pasrah memandang langit-langit, lalu Doni muncul dalam pandangan mataku.
“Don..Dooni..hik hik,” aku berusaha bangun, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa merangkak ke arah Doni, memeluk kakinya. Dia lalu berjongkok dan membelai rambutku.
“Udah Van, udah,” ujarnya menenangkan ku yang terisak.
“Kenapa mereka tega Don..kenapa?”
“Lo ga usah munafik Van, gue liat lo menikmati kok.”
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Engga Don, enggaa. Aku cuma mau sama kamu!” rengekku.
“Van, udahlah. Gue liat sendiri lo yang genjot sendiri. Oh iya Van,” tangan Doni tiba-tiba menjambak rambutku kencang. “Jangan berani-beraninya bilang lo diperkosa atau apa ya. Semua punya rekamannya Van. Orang-orang juga bisa lihat seberapa nafsunya lo.”
“Aw..i-iya Don. Engga kok, aku ga akan berani macem-macem.”
“Good,” Doni tersenyum. “Sekarang pulang ya Van.”
“Aku lemes Don. Kamu bisa anterin ga?”
“Van, gue sibuk. Lo pulang sendiri ya.”
“Aku boleh pinjam kamar mandi?”
Doni mendengus tidak sabar. Dengan setengah memaksa aku dibantunya berdiri, lalu diarahkan ke pintu keluar. Aku dilemparkan ke luar dalam kondisi telanjang. Kemudian dia menendang bajuku dari dalam.
“Jangan lupa rekam Gita lagi ya. Bye Van,” ujar Doni sambil menutup pintu rumahnya.
Cerita selanjutnya:
Part 2. Terbit dan Terbenamnya Matahari soon..