Apakah ini yang membuatku menjadi suka STW? Atau secara tidak sadar disebabkan karena aku mencari sosok ibu karena ibuku yang sibuk bekerja? Entahlah... Yang pasti saat itu aku seperti memiliki magnet bagi para STW. Beberapa tetangga, saudara, bahkan orangtua teman kerap kali menggodaku dengan candaan menjurus.
Suatu saat saudara-saudara ibuku datang berkunjung. Ibuku adalah anak kedua dari lima bersaudara, empat wanita dan seorang pria. Yang datang kerumahku adalah mereka ketiga wanita itu. Saat itu aku sedang menonton TV di ruang tamu, terdengar pembicaraan mereka dari kamar ibuku yang berada tepat di ruangan sebelah. Rumah yang sempit membuat suara mereka masih terdengar, walau ada suara TV.
Tanteku yang paling kecil dan paling terakhir menikah berkata bahwa pentol putingnya membesar sejak melahirkan dan tidak balik ke ukuran semula. Yang lain menanggapi dengan tertawa dan berkata bahwa itu hal yang wajar. Mereka mulai saling beradu ukuran susu. Ada seorang tante aku yang susunya paling besar yang bernama Bunga, terdengar bangga sambil bercanda mengejek ukuran yang lainnya. Lalu ibuku berkata "Jangan sombong dulu, ayo adu dengan susu ART aku!"
Dia lalu berteriak memanggil Susi untuk datang ke kamarnya. Dari pembicaraan yang kudengar, Susi disuruh ibuku untuk membuka bra-nya dan berdiri bersebelahan dengan tante Bunga. Pada awalnya Susi menolak karena malu, dan memang aku akui kelakuan mereka ini random dan aneh. Tapi ibuku meyakinkan untuk cuek saja, karena mereka semua juga cuek. Pintu bergerak menutup sepertinya ada yang mendorong pintu itu, tapi tidak sampai terkait. Lalu pintu itu sedikit terbuka lagi sedikit dengan sendirinya. Akhirnya Susi menurut dan disambut dengan sorakan bahwa Susi pemenangnya dan tante Bunga ngomel tidak terima.
Aku yang tidak tahan dengan keanehan ini berjalan hendak ke kamarku. Setelah beberapa langkah, kepala ini seakan-akan bergerak sendiri menengok ke arah celah pintu. Ada tante bungsu yang berdiri paling belakang sedang menghadap kearah pintu dan menoleh kearah aku sambil berkata:
"Sudah-sudah daripada ribut, kita panggil juri yang netral,"
"Sini Budi."
Aku hanya berdiri diam melihat pintu dengan cepat terbuka lebar, ternyata pintu itu dibuka oleh tante Bunga yang berdiri agak di belakang pintu. Dengan cepat pandanganku mengincar susu tante Bunga dan Susi. Susi yang berdiri di sebelah tante Bunga berteriak kecil karena kaget pintu yang tiba-tiba terbuka lebar dan berusaha menutupi susunya dengan tangan kiri dan tangan kanannya menggapai dasternya di atas tempat tidur.
"Budi, gedean punya tante atau Susi?!" tanya tante Bunga dengan nada agak ketus, sambil tangannya menopang bagian bawah susunya agar terlihat lebih bulat dan besar. Nampak Susi sudah menutupi susunya menggunakan daster yang ditahan oleh tangannya. Aku dengan wajah poker-face berkata, "Mana aku tau, kan aku belum lihat yang Susi sebesar apa."
Tante Bunga menyuruh Susi memperlihatkan lagi, namun kali ini dengan nada bercanda dilanjutkan dengan tawa kecil. Sepertinya tante Bunga menertawakan raut wajah Susi dan posenya yang sudah tidak karuan. Tentu saja Susi menolak untuk memperlihatkan susunya. "Kalau gitu lebih gede punya tante Bunga deh," ujarku sambil berjalan pergi. Agak kecewa rasanya, walau aku sudah pernah mengintip dan tahu bentuk susunya Susi, tapi akan ada sensasi berbeda jika aku berhasil melihatnya dengan cara yang baru.
Tante Bunga ini sebenarnya menarik, wajahnya lumayan cantik dengan kulit berwarna kuning langsat yang cenderung putih. Tubuhnya termasuk ideal, kurang cocok untuk aku yang suka chubby dan BBW. Walau begitu, susunya yang besar sangat menggiurkan bagiku yang seorang pecinta susu gantung. Dia juga sudah lama menjanda, pasti rindu dengan belaian. Aku dengan senang hati ingin menikmati tubuhnya. Tapi tingkah anehnya lebih sering membuat ku bingung dan malah bikin malas daripada nafsu.
Aku tidak jadi pergi ke kamar, dan malah ke lantai atas tempat menjemur pakaian untuk menemui ayahku. Dia biasa nongkrong disana sambil merokok dan mengurus burung kenari peliharaannya. Setelah aku ceritakan, ayah hanya berkata sambil tertawa, "Memang tante-tantemu itu "miring" semua... Eh tapi susu tante Bunga memang besar ya?" Aku tidak menjawabnya, hanya menggelengkan kepala sedikit dan berjalan pergi ke kamar. Sambil berbaring, aku masih mencerna apa yang terjadi barusan sampai ketiduran.
Aku terbangun karena mendengar ibu mengetuk kamarku, kulihat jam yang ternyata sudah pukul 19.35. Setelah aku membuka pintu, ibu meminta tolong untuk mengantarkan tante Bunga. Anak semata wayangnya yang bernama Andre tidak membalas SMS maupun mengangkat teleponnya, jadi dia tidak bisa meminta untuk dijemput. Sepupuku ini seumuran denganku, jadi aku kurang lebih tahu pemikirannya. Saat aku sedang main diluar juga sering lupa waktu dan jarang lihat HP.
Sebenarnya malas, tapi ayahku ternyata sudah menolak untuk mengantarkan tante Bunga. Entah mengapa hubungan ayahku dan tante Bunga agak berjarak. Mereka tidak musuhan, tapi yang aku rasakan, ayahku seperti agak menghindari tante Bunga.
Mau tidak mau aku antarkan tante Bunga mengunakan sepeda motorku. Sepanjang perjalanan, dia bertanya banyak hal.
Tante: "Sudah punya pacar belum?"
Aku: "Sudah dong"
Tante: "Sudah ngapain aja?"
Aku: terdiam sebentar dan bertanya, "Maksudnya gimana tan?"
"Ya pacaran biasanya makan atau nonton bioskop," lanjutku.
Tante: "Sudah tau yang enak-enak belum?"
Aku: "Nggak ngerti aku tan, maksudnya apaan."
Tante: "Maksud tante, ngewe," sambil berbisik.
Pertanyaan itu membuatku bertanya-tanya segala kemungkinan yang ada.
"Apakah dia sedang mengetes lalu akan melaporkannya ke ibuku?"
"Apakah maksud dari pertanyaan ini?"
"Permainan apa yang sedang dia lakukan?"
Itu semua yang terlintas dipikiranku. Untuk meminimalisir resiko, tentunya aku tidak akan mengaku.
Aku: "Ah tante pasti disuruh ibu untuk mancing-mancing begini kan?"
Tante: "Nggak, ibu kamu nggak ngomong apa-apa, tante hanya penasaran sama gaya pacaran kamu."
Aku: "Kalau aku cerita, tante janji ngga akan lapor ibu?"
Tante: "Tante janji, kalau tante lapor ibu kamu, kamu boleh musuhin tante selamanya!" dengan yakinnya dia menjawab.
Aku: "Ya udah aku percaya sama tante." (walau sebenarnya tidak)
"Aku belum pernah ngapa-ngapain tan, takut," lanjutku.
Tante: "Bohong ah, tante nggak percaya."
Aku: "Ya sudah kalau tante nggak percaya."
Tante: "Hhmm... Kalau kamu belum pernah ngapa-ngapain, berarti nggak seperti si Andre, anak tante."
Aku: "Kenapa Andre memangnya?"
Tante: "Tante pernah mergokin dia sedang gituan dirumah dengan pacarnya."
Aku dengan berpura-pura kaget menimpalinya,"HAH? seriusan tan?"
Tante: "IYA! gila nggak tuh?"
Dalam hatiku, "Ini yang aku takutkan dari kamu tan, mulutmu tidak ada filternya... Bongkar aib sana sini..."
Sesampainya di depan rumahnya, dia membuka pintu gerbang dan aku memutarbalikan motor hendak langsung pulang. Namun dia memegang tanganku dan berkata, "Tante hari ini masak rendang, kamu makan dulu aja disini sambil temani tante sampai Andre pulang."
Tidak enak rasanya untuk menolak, belum lagi rendang adalah masakan kesukaanku, aku juga tidak sempat makan malam tadi. Akhirnya aku memasukan motor dan menunggu di diruang tamunya. Dia membawa dua gelas air putih dan bilang akan memanaskan masakannya dulu lalu pergi lagi ke belakang. Tidak lama kemudian, tante Bunga membawa dua piring berisi nasi, rendang, dan telur dadar lengkap dengan sambalnya. Setelah menaruh piringnya diatas meja, dia menutup gorden dan mengunci pintu ruang tamu.
"Pintu nggak usah dikunci tan, aku cuma sebentar doang, habis makan mau pulang."
"Banyak nyamuk," balasnya singkat.
"Aneh... Perasaan tidak ada nyamuk daritadi..." pikirku. Ah ya sudah lah, aku yang lapar mulai memakan dengan lahap masakan tante Bunga yang lezat sampai habis.
"Enak banget tan, terima kasih masakannya," Kataku sambil mengeluarkan rokok. "Sama-sama," jawabnya tersenyum, lalu berjalan ke belakang sambil membawa piring bekas makan kami berdua. Dia datang membawa secangkir kopi dan berkata, "Santai dulu saja disini sambil ngopi." Aku mengucapkan terima kasih dan menyeruput kopi itu. Dia lalu duduk di sebelahku dan berkata sambil menepuk bagian dalam pahaku dengan tangan kirinya.
"Kamu tahukan rumah ini hanya ramai saat tante ada pesanan catering?"
"Kalau tidak ada pesanan catering, pegawai tante tidak datang, si Andre juga jarang dirumah, jadi rumah ini sepi sekali."
Aku yang sedang kekenyangan hanya mengangguk.
"Waktu tidak terasa ya? dulu waktu kamu kecil, tante sering membantu merawat kamu."
"Menyuapi kamu... memandikan kamu."
"Tante kangen masa itu, tapi..."
"Sekarang kamu sudah besar, sebentar lagi kuliah, lulus dan menikah," ucapnya sambil tangannya kali ini bukan hanya menepuk, namun meremas pahaku.
Aku hanya terdiam mendengarnya, iba rasanya membayangkan kesepian yang tante Bunga rasakan. Lalu mulailah percakapan aneh terjadi lagi.
Tante: "Ngomong-ngomong kamu sudah mandi belum hari ini?"
Aku: "Sudah tadi pagi"
Tante: "Sore belum kan? tante mandikan ya?"
Aku: "hahaha... tante ada-ada saja bercandanya."
Tante: "Nggak kok, tante serius."
Aku terdiam sejenak dan mencerna situasi aneh ini.
Aku: "Nggak ah tan, aku udah besar, masa dimandiin."
Tante: "Ngapain malu sama tante sendiri, kamu dulu nggak malu."
Aku: "Ya beda lah tan, aku sekarang sudah besar."
Dia terus merayu dan aku terus menolak. Sampai akhirnya dia memeluk tangan kananku. Terasa tekstur kaku bra dan susu didalamnya yang menekan lenganku. Dalam sekejap imajinasi liar muncul dan membuatku tidak berpikir panjang. Langsung terbayang bentuk susunya yang besar dan putingnya yang hitam.
"Ya sudah deh, terserah tante saja, aku ngikut," ucapku berpura-pura tidak mau.
Dengan wajah senang tante berkata, "Nah gitu dong Budi."
Masih memeluk tanganku dengan erat, dia lalu beranjak berdiri dan menuntunku ke ruang tengah. "Tunggu ya, tante siapkan handuknya dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamarnya. Bagian belakang setelah ruang tengah ini adalah dapur "outdoor" yang bagian atasnya adalah asbes bening yang sudah kekuningan. Dapur ini dikelilingi tembok tinggi untuk membatasi dengan rumah tetangga.
Antara asbes dan tembok ini ada celah sekitar 30-40 centimeter untuk ventilasi, dan asbes ini ditopang oleh kayu-kayu penyangga. Kamar mandinya berada di bagian kiri dapur. Nampak pintu ruang tengah terbuka lebar, yang artinya alasan tante saat mengunci pintu depan karena banyak nyamuk itu bohong. Nyamuk masih bisa masuk dari celah besar asbes dan tembok, seharusnya tadi dia menutup pintu belakang juga.
Ternyata dari awal aku sudah masuk ke perangkapnya. Tapi aku senang dengan situasi ini, aku akan mengikuti permainannya, dan berpura-pura belum menyadarinya.
Aku jadi penasaran... Apa yang tante Bunga akan lakukan padaku?