Ahh gak terasa, setahun sudah aku tak lagi tinggal serumah dengan istriku. Dan selama setahun ini pula aku hanya fokus menjalankan bisnisku di bidang ‘Distribusi Jam Tangan Original’, bukan bajakan.
Entah kenapa, setelah aku bercerai tanpa surat hanya sekedar omongan semata, rejeki yang kudapatkan kian naik.
Ada pepatah mengatakan, menikah, rejeki istri akan menambahkan rejeki kita. Namun kok ya, dalam hidupku, itu tak terjadi?
Justru yang ada, saat berumah tangga dua tahun dengan Santi, kehidupanku malah semakin aut-autan.
Saat bersamaku dulu, Santi kehidupannya semakin gak jelas. Sering jalan ke club bareng teman-temannya. Pulang sudah bau alkohol. Menghabiskan uang hasil dari usahaku. Jadi jangan tanyakan, kenapa aku menalaknya - tak tanggung-tanggung, langsung talak 3 tanpa mikir panjang kali lebar, setelah aku akhirnya sadar aku tak dapat hidup berlama-lama dengannya.
Pernikahan kami belum di karuniai seorang anak. Makanya aku kini berstatus duda tanpa anak.
Lalu, timbul pertanyaan mengapa aku belum mengurus surat perceraian secara negara? Sudah ku urus, sudah keluar suratnya juga, namun yang bersangkutan entah keberadaannya dimana. Aku juga gak ingin mencarinya dengan effort lebih. Sudah cukup.
Sudah cukup aku terlalu banyak mengalah dulunya…
Sudah cukup, ia menghabiskan waktuku selama dua tahun hanya untuk tersakiti karena ulahnya.
Sudah cukup dan tiada lagi tersisa secuil rasa di dalam sana, buat Santi.
Jadinya kini… status kami menggantung. Tapi secara agama, tentu kami sudah resmi bercerai.
That’s it!
Apakah aku tak memiliki nomer ponselnya?
Ada, tapi males menghubunginya lagi.
Awalnya Santi ingin meminta hak nya sebagai istri dengan meminta harta gono-giniku sebagian, tapi hoho! Maaf, gak sudi aku mengeluarkan sepersenpun uang buatnya, bukan karena aku tak sayang kepadanya, bukan juga aku tak cinta, namun memang, luka yang di tinggalkan olehnya terlalu sulit untuk ku sembuhkan.
So! Santi hanya tertinggal sebagai kenangan entah manis atau pahit, setidaknya, aku tak ingin mengingat-ngingatnya kembali. Apalagi, pernikahanku dengannya, tak meninggalkan bekas, bukan? Kami tak memiliki anak hasil dari pernikahan kami selama 2 tahun. Jadi, menurutku sah-sah saja jika aku tak memberikannya sedikitpun hasil dari usahaku saat ini.
Santi…
Terserah!
Dia mau jadi lonte kek, mau jadi apa kek di luar sana, sundelbolong sekalipun, aku - ‘Bodo Amat’. Asalkan dia tak mengganggu hidupku lagi, maka aku tak akan pernah ingin mengganggu, mencari tahu keberadaannya dimana.
Oh ya, sebelum jauh teman-teman pembaca, membaca kisahku ini, ada baiknya aku memperkenalkan diri, karena tak elok menurutku. Tak kenal maka tak sayang, bukan?
Baiklah…
Aku - Indra Setiawan. Cukup panggil Indra atau Ra. Atau Ndra. Terserah kalian, dan senyaman kalian saja, cuma rata-rata orang yang bertemu denganku, atau mengobrol akan memanggil Ra kepadaku. Mungkin, mereka adalah bagian orang-orang yang malas untuk menyebut namaku secara utuh.
Ok… forget it!
Gak penting juga menurutku.
Malam mulai menjalar di kota ini, jalan raya di depan ruko pun perlahan semakin terlihat lenggang, maklum saja ruko ku tidak terletak di daerah yang ramai meskipun bisnis yang aku jalankan masih cukup banyak pelanggannya.
Ruko di kiri dan kanan ku satu persatu mulai menutup bisnis mereka untuk hari ini, sedangkan aku sendiri masih terduduk di depan etalase ruko milikku yang berjualan jam tangan orisinil.
Usaha yang ku geluti saat ini, berawal dari iseng iseng menjual jam tangan murah dan tiruan secara mulut ke mulut, lama kelamaan aku mendapatkan kepercayaan dari beberapa distributor jam tangan di Indonesia untuk memasarkan produk mereka tanpa harus aku beli terlebih dahulu.
Sudah lebih dari 5 tahun semenjak aku serius memulai bisnis jam tangan ini hingga akhirnya sekarang aku sudah memiliki toko sendiri untuk memasarkan jam tangan yang kini sudah tidak lagi tiruan, melainkan jam tangan asli yang harganya tidak satu atau dua jutaan, melainkan lima juta, sepuluh juta, hingga ratusan juta bahkan satu milyar.
Dan saat ini, aku memiliki 4 cabang, baik di dalam Mall maupun di luar Mall. Tapi, aku malah lebih memilih untuk sering berada di toko yang sejak pertama mengawaliku memulai bisnis tersebut.
Hari ini menjadi hari yang cukup baik untuk bisnis ku karena ada beberapa pembeli yang membeli jam tangan berharga puluhan juta.
Belasan juta keuntungan kuraih hari ini dengan hanya menjual tiga jam tangan saja.
Mungkin karena itu juga aku merasa ini hari keberuntunganku dan ingin kumanfaatkan terus hingga tak terasa, waktu berlalu begitu saja, dan saat ini sudah benar-benar malam dan harus ku tutup segera.
Kedua assistenku di toko ini, tampak sedang bersiap-siap pulang karena sudah waktunya pulang kerja.
Mereka adalah pegawai loyal yang telah menemaniku selama aku membuka ruko jam tangan yang pertama ini.
“Oh iya pak” Ucap salah satu asisten tokoku sebelum dia pulang. “Selamat ulang tahun ya pak.. Semoga sehat selalu dan bisnisnya lancar terus..” Ucapnya menyelamatiku sembari mengeluarkan sebuah kue Muffin yang sudah ditancapkan lilin kecil yang menyala.
Aku menyunggingkan senyuman melihat pemandangan itu.
Tidak menyangka mereka ingat dan bahkan mempersiapkan kejutan kecil ini.
“Sama satu lagi pak..” Ucap satu orang lagi yang perempuan.
Aku menoleh melihatnya untuk mendengar apa yang akan ia ucapkan. “Semoga masalah keluarganya cepet selesai ya pak..” Ucap nya hati – hati.
Maksud dia adalah masalah pernikahanku dengan Santy. Ya! Mereka tentu tahu bagaimana perjalanan hidupku dengan Santy dan bagaimana status pernikahan kami saat ini.
“Iya pak.. Kami juga kan kepengen ngeliat bapak bahagia…” Kata assisten yang pertama.
“Makasih yaa..” Jawabku sedikit terharu. “Kalian begini bukan karena mau minta naik gaji kan?” Tanyaku bercanda dan tersenyum. Mereka juga langsung tertawa dan menggelengkan kepala.
“Ditiup dong pak..” Ucap assisten perempuan seraya menyodorkan kue muffin itu kepadaku.
“Jangan lupa wish nya sebelum ditiup..” Ucap asisten lelaki menambahkan.
Ditodong begitu mau ga mau aku menutup mataku dan memikirkan sebuah harapan sederhana, aku ingin merasakan kebahagiaan sekali lagi, entah bahagia apa yang akan ku rasakan, yang jelas kebahagiaan bisa mendapatkan teman hidup di sisa umurku.
“Fuhhh..” Setelahnya, aku meniup lilin ulang tahun itu hingga apinya padam.
Kedua assistenku menyelamatiku sekali lagi sebelum akhirnya pulang.
Angin malam langsung menyeruak begitu mereka membuka pintu ruko dan menambah dinginnya malam ini - menemani kesendirianku kini.
Namun kutepis rasa kesendirian itu dan berfokus melihat katalog jam tangan terbaru yang telah dikirim oleh para distributor sambil sesekali mengecek handphone ku untuk mencari tahu apakah ada pembeli yang bertanya langsung ke nomer ini. Dan benar saja, keberuntunganku berlanjut hari ini.
Ada satu orang pelangganku yang ingin membeli dua jam tangan dan dalam waktu dekat akan tiba di toko. Aku segera membuka etalase ku dan mengambil produk yang dia minta kemudian aku bungkus ke dalam sebuah kotak yang cukup premium karena memang harga jam tangannya pun cukup premium. 35 Juta per satu jam tangan.
Baru saja aku selesai membungkus kedua jam tangan itu, si pembeli datang, seorang ibu-ibu bertubuh cukup gemuk dengan dandanan khas ibu-ibu berduit dengan rambut disanggul membuka toko dan menyapaku menanyakan produk yang tadi ia sebutkan di Whatsapp.
Aku segera menunjukkan produk yang sudah kubungkus tersebut.
“Spesial nih buat ibu, saya sendiri yang bungkus langsung.” Ucapku tersenyum ramah dan menyodorkan produk tersebut kepadanya. Dia terlihat senang.
“Wah wah.. Saya jadi merasa terhormat nih, dibungkusin langsung sama yang punya toko.. Terimakasih banyak lho Pak Indra..” Ucap si Ibu kemudian menyerahkan Kartu Kredit Platinum nya kepadaku untuk melakukan pembayaran.
“Sama-sama ibu, terimakasih juga mau membeli jam di tempat saya.” Jawab ku sopan. “Totalnya jadi 70 Juta ya bu..” sambil menginput angka pembayaran tersebut di mesin kartu milikku.
“Lebihin aja jadi 75 juta.” Ucapnya.
Aku langung menengok, “Buat apa ya bu?” Tanyaku heran.
“Yaa, anggep aja hadiah dari saya yang lagi seneng.. Hari ini ulang tahun pernikahan saya dengan suami saya yang ke 35 tahun..” Katanya dengan senang.
Aku juga takjub.
“Wah luar biasa.. 35 tahun ya bu.. Selamat ya bu, semoga langgeng terus sampai maut memisahkan..” Ucapku memberi selamat.
“Terimakasih.. Kamu dengan istrimu sudah berapa tahun?”
Degh!
Si Ibu tanpa sadar mengusik luka pernikahanku.
“Hmm… sudah tak bersama lagi, bu” Jawaku singkat berusaha menyembunyikan luka. Si Ibu mengangguk. Memahami… “Ini beneran bu mau dijadiin 75 Juta?” tanyaku mengalihkan.
“Iya Pak Indra.. “ Jawab si Ibu dengan mantap. Aku tersenyum senang.
“Baik bu kalau begitu.” Kataku kemudian menyerahkan mesin kartu ku kepada si ibu untuk diinput PIN kartu kredit nya. Si ibu dengan sigap langsung memasukkan PIN nya dan tak lama kemudian struk pembayaran pun keluar.
APPROVED.
Aku menatap struk itu dengan girang. Harga jam 30 Juta, aku jual 35 juta, si ibu beli 2 buah ditambah bonus 5 juta, berarti keuntunganku menjadi 15 juta. Ditambah dengan keuntungan belasan juta sejak tadi pagi, hari ini benar-benar menguntungkan.
…
…
…
“Terimakasih banyak ya bu..” Ucapku sambil mengantarnya keluar dari toko dan menunggu nya masuk ke dalam mobil Alphard yang terparkir di depan Ruko ku. Supirnya langsung sigap keluar dari mobil dan menunggu di samping pintu yang tergeser terbuka otomatis.
Si ibu kemudian membuka kaja jendela mobilnya saat sedang mundur, “sudah malam Pak Indra.. Pulang.. Sudah gerimis pula ini” Kata si Ibu sembari tersenyum.
“Ah iya bu, ini saya mau nutup.” Jawabku.
“Nah begitu dong.. Jangan jualan terus.. Itu tadi bonus nya buat beliin hadiah untuk calon istri kamu yang baru aja.” Kata si Ibu bercanda. “Atau buat sugarbabby juga gak papa.. Hahaha..” Candanya lagi sambil tertawa.
Tawanya masih terdengar saat mobil nya mulai jalan.
Aku menggelengkan kepalaku melihat kelakuan orang kaya seperti ibu itu. Tetesan hujan yang semula hanya rintikan, semakin lama mulai membesar. Langitpun semakin gelap, dan angin hujan semakin kencang berhembus.
Aku kemudian bersiap untuk menutup ruko ku dan kembali ke dalam.
Hingga….
Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita berkerudung dan memegang karung dengan penampilannya yang lusuh sedang berteduh di ruko depan.
Aku awalnya cuek, namun, saat aku ingin menarik rolling door ruko-ku, wanita itu tampak tengah menggigil, yang jika ku coba tebak kayaknya dia adalah seorang pengemis atau mungkin saja pemulung - muda.
Ahhh entahlah.
Jiwa empatiku mulai muncul.
Aku berlari masuk ke dalam rukoku untuk mengambil payung, dan keluar kembali ke depan. Dan wanita itu masih di sana, belum berpindah. Masih berteduh dari derasnya hujan yang melanda kota Denpasar.
Aku mendekatinya.
“Ibu… kalo gak keberatan, silahkan berteduh di dalam saja” ujarku penuh keramahan.
Awalnya ada keraguan dan ketakutan pada wajahnya.
Namun aku tersenyum, mencoba untuk membuatnya tenang. “Tak apa-apa bu… aku bukan orang jahat” ujarku kemudian.
Dengan pelan, dia mengangguk tanpa berbicara sedikitpun.
Saat masuk aku menyuruhnya untuk duduk di salah satu kursi depan etalase yang biasa di gunakan para konsumenku..
Dia mengangguk saja.
Aku pun masuk ke dalam, kemudian keluar lagi dan membawakannya handuk.
“Lebih baik… ibu mandi, takutnya sakit karena kehujanan”
“A-aku gak apa-apa menunggu hujan di sini saja pak…”
“Gak apa-apa bu… kebetulan di sini, masih ada pakaian yang bisa ibu gunakan, kebetulan masih ada seragam karyawan yang gak di pake, nanti aku siapin bu”
Dan setelah membujuknya, dia akhirnya mau juga untuk mandi.
Sungguh! Di saat aku merasa, hidupku berantakan, rupanya masih ada yang jauh, bahkan amat sangat jauh lebih berantakan daripadaku.
Sembari menunggu wanita itu yang masih tak ku ketahui namanya mandi, aku langsung mencari ke laci di bawah etalase ku. Seingatku dulu saat aku membuat seragam baru untuk karyawan, aku sengaja membuat lebih untuk jaga-jaga. Hanya saja aku lupa dimana seragam itu kusimpan. Seharusnya sih ya masih ada di salah satu laci etalaseku ini.
Setelah berusaha mencari. Akhirnya ketemu juga seragam tersebut meskipun harus cukup lama membongkar kesana kemari.
Sekilas aku membuka seragam polo shirt berlengan panjang warna merah beserta rok hitam panjang yang masih terbungkus rapi di dalam plastik bening.
Aku lalu masuk ke dalam, dan begitu tiba di depan kamar mandi yang biasa di gunakan para asistenku, aku segera mengetuk pintunya seraya berucap, “Bu… pakaian aku taruh di depan pintu yah, aku menunggu di luar.”
“I… iya Pak. Ma… makasih ya”
“Iya bu… jangan sungkan.”
“Terima kasih pak”
Sudah!
Aku segera beranjak kembali keluar. Karena tak elok, menunggunya di depan kamar mandi seperti ini, nanti di kiranya aku akan berbuat apa-apa padanya.
…
…
Setelah mandi…
Setelah ku dengar langkah kaki berjalan keluar. Setelah tercium aroma sabun mandi, aku spontan mengalihkan pandanganku.
Aku langsung terpana melihatnya.
Dia memakai pakaian seragam-ku, dan tak lupa ia tetap memakai hijab yang baru, bukan yang sebelumnya ia kenakan, yang sepertinya dia membawa hijabnya sendiri dari dalam tasnya yang lusuh.
Dia hmm… memang tak dapat di pungkiri caranya berpakaian selayaknya gadis dari desa. Namun meski demikian penampilan pedesaannya itu justru semakin menambahkan aura positif bagiku. Wajahnya yang manis selayaknya wanita desa, kecantikannya benar-benar indo melayu banget.
Ahhh sial…
Aku tak mungkin terpesona dengan wanita desa ini, bukan?