Prolog
Bughhh...!!!
"Arkhhh...shit!!!" pekik seorang pria saat tersungkur di atas lantai rumah miliknya ketika mendapatkan sebuah bogeman mentah dari sahabatnya.
Randy, sang pelaku menatap nanar pria yang sering disapa Justin itu.
"Apa-apaan lu Ran?! Dateng-dateng main pukul aja!"
"Gue gak nyangka ternyata lu nusuk gue dari belakang ya!"
Justin kebingungan dengan perkataan Randy yang tak berdasar. Apa yang dia maksud dengan menusuk dari belakang? Apa sahabatnya ini sudah gila?
"Maksud lu apa ngomong gitu, hah?!"
"Gue tau lu diem-diem deketin Annisa kan?! Gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalo lu sering antar jemput dia di kampus. Dan Arif bilang sendiri ke gue kalo kalian itu pacaran."
Justin tersenyum remeh lalu bangkit dengan mengelap darah yang keluar dari sudut bibirnya.
"Hah?! Lu kira gue ngerebut Annisa dari lu? Cih...gue itu bukan lu! gak serendah itu yang main belakang sama pacar sahabatnya!" ujar Justin yang secara tidak langsung menyindir Randy yang pernah berselingkuh dengan Anes yang mana mantan pacar Justin.
Randy terdiam menatap datar mata Justin. Apa yang dikatakan Justin membuat Randy bungkam seribu bahasa.
"Gue deketin Annisa karena gue mau minta bantuannya buat dapetin Adibah. Gue minta dia pura-pura jadi pacar gue cuma di depan ibunya buat ngeliat gimana reaksi Adibah kalo tau gue pacaran sama anaknya."
Randy menghela nafas berat. Lelaki itu percaya dengan ucapan Justin. Ternyata apa yang dia kira selama ini salah. Randy terlalu percaya dengan apa yang dia lihat tanpa mengetahui kronologinya sama sekali. Dia juga terlalu mudah termakan omongan Arif.
"Pukul gue!" sentak Randy lirih.
Justin hanya menatap datar sahabatnya itu sambil mengepalkan tangannya.
"Pukul gue...!!!" seru Randy lebih keras.
Bughhh...!!!
"Aduhhh...!!!" Seketika giliran Randy yang rebahan di atas lantai.
"Perasaan tadi gue mukulnya gak sekeras ini deh. Dendam kesumat ini sih! Sshhh...duhhh!"
Justin terkekeh sesaat lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Randy bangkit dari rebahannya.
Mereka kemudian duduk di sofa ruang tamu seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Sambil menyeruput segelas soft drink mereka berbincang-bincang.
"Jadi lu bener-bener ngejar ibunya Annisa? Emang gak ada cewek lain apa yang mau sama lu? Udah gak laku lu sampe ngejar nenek-nenek?"
Justin menaikkan salah satu kakinya ke sofa. Dia geleng-geleng kepala.
"Ran, ini bukan soal laku atau gak laku. Cewek yang ngejar-ngejar gue banyak, tapi cewek yang gak ngejar-ngejar gue dan malah nolak gue itu cuma Adibah."
"Jadi lu deketin ibunya Annisa cuma karena gengsi?"
"Enggak lah. Dari awal gue ketemu dia waktu lu bawa dia ke rumah gue. Gue udah ngerasain ada yang aneh dalam diri gue. Bahkan jauh lebih kuat dari waktu gue pacaran sama Anes. Dia seketika mengalihkan duniaku. Apalagi senyumnya itu, aduhhh..."
Justin mengelus dadanya sembari menampilkan raut wajah mellow membuat Randy berusaha menahan rasa ingin muntah. Pria blasteran itu hanya terkekeh.
"Lu sendiri gimana soal Annisa?" tanya Justin balik.
"Gue akan berusaha kok buat dapetin dia."
"Ran, kalo menurut gue sih lu mending daftar kuliah aja di kampus gue. Jadi lu bisa deketin Annisa lebih leluasa."
Mata Randy melotot mendengar ucapan Justin. Masuk ke dalam universitas sama sekali tidak tercantum pada wish list hidupnya.
"Males banget gue Tin! Gue udah gak sanggup mikir tentang pelajaran lagi. Kasihanilah otak gue yang segede biji jeruk," ujar Randy seraya memegangi kepalanya.
Seketika Justin memukul kepala Randy. "Aduh...!!!" pekiknya.
"Nih Ran, emangnya selama ini gue kuliah pake mikir apa? Kagak! Masuk kelas aja jarang-jarang. Itu cuma buat formalitas aja karena sebagai pemain basket, kita juga disarankan punya pendidikan yang bagus. Nah, di kampus gue itu ada akademi tim GB, yang mana pemain-pemain pro tim GB kebanyakan lahir dari situ. Cuma lu aja yang lewat jalur numpang ke gue."
"Cihhh..." Randy mendecih. "Kalo kampus lu sebaik itu di bidang basket, kenapa waktu di POM tim gue bisa ngimbangin kampus lu?" lanjut Randy remeh.
"Itu karena pemain yang dibawa ke turnamen bukan dari akademi, tapi cuma dari klub basket fakultas hukum di kampus gue. Gue dipanggil cuma buat secure kemenangan kampus gue aja."
Randy memalingkan wajahnya memikirkan kembali tawaran Justin. Entar kenapa mendengar kata 'kampus' dan 'universitas' membuatnya bergidik ngeri, apalagi memasukinya.
"Tapi lu harus jamin kalo gue gak akan mikir ya di kampus!"
"Bhahaha...Segitu trauma kah lu sama pelajaran? Tenang aja semua bisa diatur." Justin tampak menaik turunkan alisnya.
"Terus biayanya?"
"Lu kan pemain profesionalnya GB. Mereka sediain beasiswa khusus anak akademi apalagi yang udah jadi pemain pro kaya gue," sombong Justin.
Sejenak Randy tampak berpikir menimbangnya. Benar apa kata Justin, kalau dia masuk kampus tempat Annisa belajar, itu akan memudahkannya mendekati wanita itu.
Maka setelah berpikir cukup lama akhirnya Randy memutuskan.
"Oke gue akan masuk ke kampus lu."
"Nah gitu dong. Cinta gak bisa ditunggu tapi harus dikejar. Ingat Annisa itu cantik dan manis, pasti banyak saingan lu di sana buat dapetin Annisa, kaya cowok yang selalu ngintilin dia kemana pun itu, siapa namanya ya?"
"Arif?!" tebak Randy yang mendapat anggukan dari Justin.
"Ya itulah."
Randy tampak biasa saja. Kalau saingannya Arif sih dia tidak usah khawatir. Lelaki itu hanya bisa mendekati tapi tidak pernah menyatakan perasaan.
"Baiklah, sepertinya masuk ke universitas bukan suatu pilihan yang buruk. Gue jadi adik tingkatnya Annisa dong? Tapi gak papa lah yang penting gue bisa sering-sering ketemu sama dia," ucap Randy bermonolog.
To Be Continue...