Cerita ini hanya rekaan semata-mata untuk tujuan hiburan. Bila ada kesamaan, apapun bentuknya, itu hanyalah kebetulan tidak ada unsur kesengajaan. Sebelum mengikuti cerita ini, sebaiknya reader memperhatikan beberapa hal di bawah ini:
CHAPTER 1
CHAPTER 2 Klik
CHAPTER 3 Klik
CHAPTER 4 Klik
CHAPTER 5 Klik
CHAPTER 6 Klik
CHAPTER 7 Klik
CHAPTER 8 Klik
CHAPTER 9 Klik
CHAPTER 10 Klik
CHAPTER 11 Klik
CHAPTER 12 Klik
CHAPTER 13 Klik
CHAPTER 14 A Klik
CHAPTER 14 B Klik
CHAPTER 15 A Klik
CHAPTER 15 B Klik
CHAPTER 16 Klik
CHAPTER 17 Klik
CHAPTER 18 A Klik
CHAPTER 18 B On Going
CHAPTER 19 On Going
CHAPTER 20 On Going
CHAPTER 21 On Going
CHAPTER 22 On Going
CHAPTER 23 On Going
CHAPTER 24 On Going
CHAPTER 25 On Going
[1][2][3][4][5][6][7][8][9][10][11][12][13][14][15][16][17][18][19]
Aku memeluk erat istriku seolah-olah orang yang berada di dekapanku adalah sebuah benda berharga yang tak ternilai. Kami berdua terus senyap berpelukkan sambil meresapi detik-detik terakhir kepergianku. Entah sudah berapa lama aku memeluknya, aku pun mengurai pelukanku. Setelah menatap wajahnya beberapa saat, aku mengalihkan pandanganku pada kedua anak sambungku dan si bungsu yang ada dalam gendongan si sulung. Aku tak bisa membaca mimik wajah mereka yang terlihat sendu. Kembali kupandangi wajah istriku, dua detik kemudian senyumannya mengembang.
“Pergilah ... Dan kembalilah segera ...” Lirih istriku.
Aku tak mampu menjawab, lidahku terasa kelu. Aku hanya bisa membelai kedua pipinya lalu mencium keningnya. Setelah itu, aku membalikkan badan. Di depanku sudah berdiri kokoh pintu cahaya buatan Petteri sebagai jalanku menuju Planet Azumath. Setelah memikirkan dan menimbang matang-matang, akhirnya aku membulatkan tekad untuk pergi. Aku pergi dalam misi menyelamatkan umat manusia dengan menjelajah planet Azumath. Atas izin istri dan anak-anakku, aku melangkahkan kaki memasuki pintu cahaya. Tubuhku pun masuk dan hanya cahaya putih yang terbentang di hadapanku. Sejak detik inilah aku meninggalkan keluargaku dan dimulailah perjalananku.
Aku terus melangkah dan di sampingku Petteri yang terbang melayang-layang pelan. Tak lama, aku melihat diriku dan Petteri ternyata berada di sebuah selubung sinar. Lantas aku duduk di sebuah kursi besar bercahaya, tak sampai satu helaan napas aku pun melesat ke angkasa. Hanya dalam satu kedipan mata, aku melihat di luar selubung sinar tampak dunia yang hitam. Nun jauh di sana tampak titik-titik bintang yang membentuk rasi-rasi. Kira-kira kalau aku gambarkan keadaanku saat ini bisa dikatakan aku sedang menaiki sebuah kendaraan cahaya. Aku yakin kendaraan cahayaku ini bergerak melesat dengan kecepatan cahaya, buktinya aku dengan cepat berhasil melewati ratusan planet yang entah apa namanya.
“Kau tidak lupa membawa Ruby yang aku berikan bukan?” Tiba-tiba Petteri membuyarkan lamunanku yang sejak tadi takjub dengan perjalananku ini.
“Ya ... Aku bawa ...” Jawabku sambil terus berjalan.
“Batu Ruby itu nanti kau jual di Azumath ... Harganya sangat mahal, kira-kira harga satu Ruby itu adalah lima ribu koin emas. Jika kau tidak foya-foya, lima ribu koin emas bisa menjamin hidupmu puluhan tahun di sana.” Jelas Petteri.
“Ya ...” Jawabku tak banyak bertanya.
Selubung cahaya kami terus melesat menembus kegelapan jagat raya. Petteri bercerita kalau dengan kekuatan cahayanya saja, perjalanan ke Azumath akan memakan waktu sekitar 70 tahun berdasarkan waktu bumi. Sehubungan dengan sekarang kami memakai kendaraan makhluk bangsa cahaya, maka perjalanan ke Azumath bisa ditempuh hanya dengan 6 sampai 7 jam berdasarkan waktu bumi. Selain itu, kendaraan cahaya yang aku naiki ini sudah dilengkapi alat pendaur ulang oksigen sehingga aku tidak perlu khawatir akan kehabisan oksigen. Aku pun tersenyum karena semua yang Petteri ceritakan sangat tidak bisa dicerna akalku yang sejengkal ini. Lebih baik aku mengalihkan tema pembicaraan.
“Pet ... Aku hanya mempunyai skill sihir pengobatan. Mungkin tugasku hanya mengobati orang-orang yang sakit di sana, tidak lebih. Menurutmu, apakah dengan skill sihir pengobatanku ini aku bisa menyelamatkan ras manusia di Azumath. Aku rasa itu tidak mungkin.” Kataku.
“Benar ... Oleh karena itu lah kau harus menguasai sihir yang lain, yang sifatnya untuk menyerang dan bertahan.” Respon Petteri.
“Jenis sihir apa itu?” Tanyaku ingin tahu.
“Ada empat jenis sihir yang umum yaitu elemen api, elemen air, elemen udara atau angin, dan elemen tanah. Tetapi aku tidak ingin kau mempelajari sihir-sihir itu. Kau akan aku beri buku sihir elemen cahaya dan petir. Kedua sihir itu akan membuatmu menjadi ksatria sihir yang tidak ada tandingannya.” Jelas Petteri.
“Apakah akan cukup waktu mempelajari kedua sihir itu?” Tanyaku lagi.
“Kau mempelajari sihir penyembuhan yang paling sulit di antara sihir-sihir yang ada. Kau bisa menguasainya hanya dalam waktu satu tahun. Aku yakin kau bisa menguasai kedua sihir ini tidak akan lebih dari dua tahun.” Ungkap Petteri.
“Coba kau jelaskan apa itu sihir elemen cahaya dan petir itu!” Pintaku.
“Sihir elemen cahaya adalah jenis elemen sihir yang luar biasa lembut. Esensi sejati dari cahaya adalah kemurahan hati, toleransi, kedamaian, dan cinta. Semua makhluk hidup membutuhkan unsur cahaya untuk tumbuh. Tak seorang pun di jagat raya ini yang memiliki sihir elemen cahaya. Sihir elemen cahaya tergolong sihir yang sangat langka dan juga sangat kuat. Ras demon sangat takut pada seseorang yang memiliki sihir elemen cahaya.” Jelas Petteri.
“Bagaimana dengan sihir elemen petir?” Tanyaku lagi dan lagi.
“Sihir elemen petir sifatnya pengrusak. Elemen petir adalah elemen yang paling merusak. Selain itu, sihir elemen petir sangat cepat dan ganas. Ketika petir menyambar, kekuatan mengerikannya meledak pada satu titik dalam sekejap. Sihir elemen petir dikembangkan untuk makhluk tingkat tinggi seperti Elf. Ras Elf sangat takut pada seseorang yang memiliki sihir elemen petir.” Jelas Petteri lagi.
Selanjutnya, Petteri menceritakan dasar-dasar sihir kedua elemen tersebut. Aku simak baik-baik penjelasan Petteri sambil mengingat dan mencerna apa yang disampaikannya. Petteri memang sejenis makhluk ilmu pengetahuan yang sangat jenius, dia semacam perpustakaan jagat raya. Jadi tidak aneh kalau dia menguasai ilmu apa saja yang ada di jagat raya secara detail dan mendalam.
“Aku sudah menulis kedua sihir itu dalam buku. Tapi aku pesan. Jika kau selesai mempelajarinya dan menguasainya hancurkan segera buku yang kutulis itu. Aku tidak mau orang jahat menguasai kedua jenis sihir langka ini.” Petteri mengakhiri penjelasannya.
“Baik.” Jawabku singkat.
“Nah itu ... Di depan itu adalah planet Azumath ...” Tiba-tiba Petteri berkata dan menunjuk planet besar di hadapanku.
Kulihat sebuah planet yang luar biasa besarnya. Planet di depanku memiliki bentuk seperti bola dan tertekan pipih pada sepanjang sumbu dari kutub ke kutub sehingga menyebabkan bagian di sekitar tengahnya memiliki tonjolan. Planet Azumath didominasi oleh warna biru yang juga dihiasi dengan awan-awan putih yang menutupi sebagian besar langit. Petteri akhirnya menjelaskan bahwa warna biru memang yang paling mendominasi dari warna-warna lain di Azumath karena planet Azumath 60% merupakan lautan. Selain biru ada juga warna-warna lain seperti warna hijau yang berasal dari hutan, kuning kecoklatan dari gurun sampai putih dari permukaan yang tertutupi lapisan es. Bisa dikatakan, Azumath menjadi planet yang paling penuh warna dibandingkan dengan planet-planet lain.
“Saudaraku ... Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Kau mempunyai waktu 5 bulan bumi berarti 22 tahun Azumath. Setelah 22 tahun di Azumath, aku akan menjemputmu. Berusahalah tetap hidup dan jangan sampai terbunuh. Aku tidak bisa menolongmu selama berada di Azumath. Di dalam tasmu itu sudah ada dua buku sihir yang kau harus pelajari dan aku menambahkan lima batu Ruby lagi untuk modal hidupmu di sana. Sekarang pergilah!” Ujar Petteri.
“Pet ... Apakah kau yakin kalau aku bisa bertahan hidup di dunia itu?” Tanyaku ingin keyakinan.
“Kau sudah digariskan jagat raya untuk menjadi penyelamat ras manusia. Jalani saja garis hidupmu, dan percayalah pada dirimu sendiri.” Tegas Petteri yang lumayan membuat hatiku tenang.
“Baiklah Pet ... 22 tahun ke depan, aku tunggu kedatanganmu.” Kataku sembari meraih tas gendong yang entah sejak kapan berada di belakang kursiku.
“Selamat berjuang sahabat!” Ujar Petteri lalu tiba-tiba terbentuk pintu cahaya seperti yang kulewati saat berada di bumi.
“Kenapa kau tidak mengantarkanku sampai ke darat?” Tanyaku sebelum melangkahkan kaki memasuki pintu cahaya.
“Untuk saat ini aku dilarang memasuki Planet Azumath.” Jawabnya yang tak bisa kubantah.
“Hhhmm ... Aku pergi!” Kataku sambil melangkah masuk ke pintu cahaya.
Perasaanku, aku baru satu langkah keluar dari pintu cahaya, namun kini yang kulihat adalah banyak orang terluka di bawah redupnya cahaya api yang berasal dari beberapa obor. Aku mengedarkan pandangan dan ternyata aku berada di sebuah tenda besar yang berisi orang-orang terluka. Ada ratusan orang di sini dalam kondisi sangat mengkhawatirkan. Sebagian dari mereka mengerang-erang kesakitan. Selain erangan kesakitan, aku mendengar juga suara pertempuran di luar sana. Suara teriakan disertai dentuman berkali-kali menandakan jika di luar tenda ini sedang terjadi pertempuran. Aku lantas mendekati seorang berpakaian prajurit kerajaan sedang meregang nyawa. Mata si prajurit melotot dengan mulut menganga. Tercium bau amis yang sangat menyengat keluar dari mulutnya yang menganga.
“Ini orang terkena sihir kutukan.” Kataku dalam hati karena aku teringat isi buku sihir penyembuhan yang pernah kupelajari. Keadaan orang seperti ini persis yang dijelaskan buku sihir penyembuhanku. Aku tahu persis karena pada bagian buku itu menjelaskan beberapa jenis luka yang berasal dari serangan jenis sihir hitam.
Aku lantas menempelkan telunjuk di kening prajurit yang hendak meregang nyawa itu. Kuucapkan mantera ‘Kuolema’, langsung saja dari ujung telunjukku keluar sinar hijau yang masuk ke dalam kepala si prajurit melalui keningnya. Kuolema adalah energi sihir yang bisa mematikan sihir kutukan yang bersemayam di tubuh korban. Sihir kutukan adalah sihir yang dilepaskan oleh penyihir yang bertujuan mencabut nyawa korban secara perlahan tanpa merusak tubuh korban. Seseorang yang terkena sihir kutukan akan merasakan sakit yang luar biasa secara terus menerus sampai jiwanya lepas dari raga.
Aku pun pindah ke prajurit di sampingnya. Keadaan si prajurit sama dengan prajurit sebelumnya, dia terkena sihir kutukan. Aku segera menolong si prajurit dengan memberinya kuolema. Begitu seterusnya, aku berpindah ke satu prajurit ke prajurit yang lain. Aneh bagiku karena semua korban di tenda ini adalah korban dari sihir kutukan. Ada beberapa yang sudah menjadi mayat, tetapi kebanyakan masih bisa aku selamatkan. Baru setengah lebih yang aku tolong, tiba-tiba dari pintu tenda masuk seseorang tinggi besar berpakaian prajurit kerajaan menggotong seorang prajurit yang terluka. Dia menoleh padaku tetapi hanya sebentar, setelah meletakkan prajurit yang digotongnya ia langsung melesat cepat keluar dari tenda. Aku kini berkesimpulan kalau tenda ini adalah tempat korban yang terkena sihir kutukan.
“Hei! Aku sembuh!” Pekik seorang prajurit yang sudah aku tolong.
“Aku juga ... Ini sukar dipercaya ...” Pekik yang lain.
“Aku juga sembuh ...”
“Aku juga ...”
“Aku juga ...”
Terdengar suara riuh dari prajurit-prajurit. Aku hanya tersenyum lalu melanjutkan ‘pengobatanku’ kepada prajurit yang belum sempat aku obati. Tak berapa lama, aku merasa sedang diperhatikan oleh puluhan mata. Dari sudut mataku, aku melihat mereka sedang memperhatikanku. Ujung telunjukku terus mengeluarkan sinar hijau di kening para korban. Akhirnya mereka sadar, kalau akulah yang telah menyembuhkan mereka.
“Kau telah menyembuhkan kami. Tapi, bagaimana caranya?” Seseorang berkata padaku.
“Lebih baik kalian pulihkan energi sihir kalian, agar kalian bisa bertempur lagi.” Ujarku santai sambil terus mengobati prajurit yang belum terobati.
“Oh ... Benar ... Semuanya ... Kita pulihkan energi sihir kita dan kembali ke medan pertempuran.” Sahut seseorang diantara banyak prajurit yang sembuh.
“Benar ...”
“Ayo kita pulihkan energi kita ...”
Kini riuh suara terdengar sangat bersemangat. Kesemuanya duduk mengambil sikap meditasi. Aku tahu kalau mereka sedang memulihkan energi sihir mereka. Sementara itu aku terus berusaha untuk menyelamatkan prajurit yang masih bisa diselamatkan. Entah berapa lama, akhirnya aku selesai memberikan pengobatan pada prajurit-prajurit di tenda ini. Semuanya aku suruh untuk memulihkan energi sihir mereka, karena yang aku tahu untuk memulihkan energi sihir memerlukan waktu minimal 6 jam. Aku pun merasa energi sihirku sangat terkuras, aku kemudian mengambil posisi di pojokan untuk memulihkan energi sihirku. Baru saja aku akan memulai bermeditasi, tiba-tiba prajurit tinggi besar yang tadi kulihat kembali datang membawa dua prajurit sekaligus di pundaknya. Aku melihatnya terbengong-bengong, raut mukanya terlihat terkejut sekaligus lucu.
“Bawa prajurit yang terluka itu ke sini.” Kataku dan prajurit tinggi besar itu menatapku aneh untuk sejenak, sebelum akhirnya dia mendekatiku lalu meletakkan prajurit yang terluka di depanku.
“Apakah kau yang membuat mereka begini?” Tanyanya dengan nada tak percaya. Pandangannya mengedar pada para prajurit yang sedang duduk bersila melakukan meditasi.
“Ya ...” Jawabku singkat sambil menempelkan telunjuk di kening prajurit korban baru untuk memberinya kuolema, setelahnya kepada prajurit yang satunya lagi.
“Kau bisa menyembuhkannya?” Tanya prajurit tinggi besar itu lagi. Matanya kini melihat pada prajurit yang baru saja ia bawa. Si prajurit tinggi besar pun terperanjat saat dua prajurit yang aku sembuhkan bangkit secara tiba-tiba.
“Pulihkan dulu energi sihir kalian.” Kataku pada kedua prajurit yang baru saja bangkit.
“Apakah aku sembuh?” Tanya salah satu prajurit padaku.
“Ya ... Kalian terbebas dari sihir kutukan. Sekarang, pulihkan dulu energi sihir kalian.” Kataku.
“Baik.” Sahut kedua prajurit tersebut hampir bersamaan, kemudian mereka mengambil sikap bermeditasi.
“Ini kabar yang sangat menggembirakan.” Ujar si prajurit berbadan tinggi besar sambil tersenyum senang.
“Ya ... Sekarang kau lanjut tugasmu. Kalau ada korban lagi, bawa ke sini. Aku sudah mulai kehabisan energi sihirku. Aku harus memulihkannya.” Kataku.
“Baik!” Dia berdiri tegak lalu membungkuk hormat.
Aku lantas mulai bermeditasi agar energi sihirku bertambah walau tidak bisa pulih seratus persen. Paling tidak, aku bisa terus menyembuhkan korban-korban yang akan datang. Aku mulai bermeditasi dan berkontemplasi. Setelah beberapa saat, aku memasuki keheningan dan merasakan aliran energi sihirku. Dari aliran energi sihir itu bermunculan energi-energi sihir baru dan bergabung di pusat tubuh. Aku terus mengumpulkan energi sihir yang berasal dari alam, tak beberapa lama aku sudah memasuki mode mempertahankan fokus dan meningkatkan akurasi. Tak ayal, energi sihirku terisi kembali lumayan kencang.
“Kisanak ...!” Tiba-tiba fokus dan konsentrasiku buyar tatkala seseorang memanggilku dalam jarak dekat.
Aku lantas membuka mata. Tampak seorang pria tampan memakai pakaian bangsawan khas kerajaan tengah berdiri persis di depanku. Di belakangnya berdiri juga beberapa orang, bahkan salah satu diantaranya seorang wanita cantik jelita. Setelah memandang satu persatu mereka, aku pun bersuara, “Ya ...”
“Apakah kisanak yang menyembuhkan mereka?” Tanya pria tampan yang kurasa dia adalah pemimpin rombongan.
“Ya ... Namaku bukan kisanak ... Namaku Azka ...” Candaku sambil memperkenalkan diri.
“Oh ya ... Namaku Bisma. Aku adalah pimpinan pasukan healing. Tapi, bagaimana kau bisa menyembuhkan pasukan yang sudah terkena sihir kutukan?” Tanya si pria tampan yang mengaku bernama Bisma.
“Tuanku Bisma ... Apakah tuan tidak tahu cara menyembuhkan orang yang terkena sihir kutukan?” Aku malah balik bertanya.
“Setahuku, tidak ada satu orang pun yang bisa menyembuhkan orang yang terkena sihir kutukan. Orang yang terkena sihir kutukan sudah dipastikan akan mati mengenaskan.” Mimik muka pria tampan itu terlihat kebingungan.
“Buktinya, aku bisa ... Lihat para prajurit yang tuan vonis mati. Mereka bugar dan siap bertempur kembali.” Kataku sambil tersenyum.
“Kalau begitu, sudikah kau membagi ilmu penyembuhan itu pada kami. Ilmu itu sangat membantu karena musuh-musuh kami sangat mengandalkan sihir terlarang itu. Kami sungguh tidak berdaya.” Pintanya sangat tulus.
“Manteranya ‘Kuolema’. Satukan mantera itu dengan energi sihir yang sudah berwarna hijau. Setelah bersatu, alirkan kuolema ke jari telunjuk. Sentuh kening korban dan masukan kuolema ke kepalanya melalui kening.” Jelasku.
“Terima kasih, Azka ... Terima kasih ... Aku dan semua pasukan healing mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.” Bisma menangkup kedua telapak tangannya yang ia tempatkan di dada lalu pria tampan itu membungkukkan badan berkali-kali.
“Sama-sama tuan ... Bolehkan saya meneruskan bermeditasi? Energi sihirku sangat terkuras barusan.” Kataku lembut.
“Silahkan tuan ... Silahkan ...” Bisma kini menyebutku ‘tuan’. Aku pikir aku sudah naik derajat.
Kembali aku pada sikap meditasiku tanpa lagi menghiraukan keberadaan pasukan healing yang mulai meninggalkan tempatku dan beberapa ‘pasienku’ yang sudah mulai sadar. Kini aku merasa lebih tenang untuk mengumpulkan energi sihir karena tidak ada lagi korban yang datang padaku. Aku pikir pasukan healing lah yang mengambil tugasku saat ini. Seperti baterai, energi sihir juga bisa habis. Kalau pun masih banyak bukan berarti bisa dipakai seenaknya. Kehabisan energi sihir bisa berakibat fatal bila terjadi dalam pertempuran. Kehabisan energi sihir membuat penyihir atau ksatria sihir tidak bisa lagi mengeluarkan sihir andalannya, yang berarti kekalahan sudah dapat dipastikan.
.....
.....
.....
Aku membuka mata setelah terasa energi sihirku kembali seratus persen. Pertama yang kulihat adalah tenda kosong, hanya beberapa mayat di sini. Aku pun bangkit lalu berjalan keluar tenda. Ternyata aku berada di atas bukit. Di bawah sana, pertempuran sedang berkecamuk. Langit malam sudah tidak lagi menampilkan kegelapan, yang ada adalah sinar-sinar terang yang berterbangan membuat suasana menjadi terang benderang.
Pertempuran begitu mencekam karena ras manusia harus berhadapan dengan makhluk-makhluk mengerikan dari dunia kegelapan semacam kelelawar raksasa, raksasa merah serta makhluk ganas di bawah pimpinan ras demon. Belum lagi pertempuran darat antara pasukan manusia dan pasukan Elf yang dibantu pasukan demon. Selintas terlihat seimbang. Meskipun ras manusia kalah kekuatan sihir tetapi ras manusia menang jumlah.
“Peperangan ini sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Tinggal beberapa saat lagi berhenti. Gencatan senjata selama satu bulan. Setelah satu bulan gencatan senjata, perang lagi selama satu minggu. Begitu seterusnya sampai salah satu pihak ada yang menyerah.” Tiba-tiba Bisma sudah ada di sebelahku.
“Oh, begitu ya ...” Kataku masih dengan memandang peperangan di bawah sana.
“Kalau boleh tahu, tuan berasal dari mana?” Tanyanya yang juga mengarahkan pandangan ke arah peperangan yang sedang berkecamuk jauh di bawah sana.
“Aku hanya seorang pengembara. Rumahku alam ini, bahkan aku tak tahu di mana aku dilahirkan.” Kilahku.
“Seorang pengembara dengan sihir penyembuhan yang luar biasa. Tenaga tuan sangat dibutuhkan di peperangan ini. Maukah tuan bergabung dengan pasukan healing?” Pinta Bisma.
“Tentu saja.” Jawabku tanpa ragu.
Tak lama terdengar suara terompet saling bersautan tanda memasuki masa damai dan perang harus dihentikan. Tiba-tiba semua yang sedang bertempur di medan peperangan serempak berhenti. Mereka mundur ke markas masing-masing. Ada yang membawa rekannya yang terluka, ada juga yang melenggang tak peduli. Kini, peperangan telah usai. Tak ada lagi pertempuran fisik.
“Kita harus merawat orang-orang yang terluka.” Kata Bisma.
“Mari ...” Jawabku.
Aku dan Bisma berjalan ke tenda perawatan. Tak lama berselang, beberapa prajurit terluka berdatangan. Aku pun langsung terlibat merawat prajurit-prajurit yang terluka. Memang sihir penyembuhan adalah sihir yang luar biasa. Luka-luka seketika dapat disembuhkan seperti sedia kala. Sepertinya aku langsung mendapat pekerjaan karena setelah selesai merawat para prajurit aku mendapatkan upah seratus koin perak. Aku dan Bisma duduk di sebuah tenda khusus yang ditempati Bisma sebagai pimpinan pasukan healing. Sinar matahari pagi mulai menghangati sebagian ruang tenda. Segelas teh hangat dan makanan ringan yang tak tahu apa namanya menjadi hidangan kami pagi ini.
“Apakah di sini tidak ada kopi?” Tanyaku pada Bisma.
“Tidak ada. Jika tuan ingin kopi, tuan harus pergi ke kota.” Jawab Bisma mengecewakan.
“Sudah berapa lama peperangan ini terjadi?” Tanyaku lagi.
“Peperangan tadi adalah yang keempat, berarti sudah terjadi sekitar lima bulanan.” Jawab Bisma.
“Apa yang menyebabkan peperangan ini?” Tanyaku lagi seperti wartwan.
“Awalnya putera mahkota Raja Duvador terpikat oleh seorang wanita Elf. Putera mahkota pergi menemui wanita Elf yang ia sukai. Tiba-tiba Raja Duvador menerima kabar bahwa putera mahkotanya dihukum mati oleh Raja Elf karena dituduh telah memperkosa wanita Elf. Raja Duvador tidak terima karena tahu sifat wanita Elf yang sering menggoda bangsa manusia. Ya, maka terjadilah peperangan ini.” Unkap Bisma lalu meminum air putih hangatnya.
“Kenapa bangsa naga tidak menghentikan peperangan ini. Bukankah merekalah yang menjaga perdamaian di dunia ini?” Tanyaku lagi lebih serius.
“Bangsa naga sudah berusaha mendamaikan kami. Tetapi Raja Duvador tetap dengan keyakinannya. Sang raja menginginkan keadilan dengan membalas perbuatan Raja Elf. Bangsa naga tidak lagi mau mendamaikan dan peperangan pun tak bisa dihindarkan.” Jawab Bisma lagi sambil tersenyum miris.
“Bangsa demon pun turut dalam peperangan.” Gumamku.
“Bangsa Elf yang sadar akan kekuatannya meminta bantuan bangsa demon.” Lirih Bisma.
“Kamu tahu. Kalau bangsa manusia akan kalah dan musnah?” Tanyaku.
“Tidak! Aku yakin kita akan menang!” Sambar Bisma dengan mata terbelalak menatapku, seakan dia tidak setuju dengan apa yang baru saja aku ucapkan.
“Kekuatan bangsa Elf memang sama dengan kita, tapi kekuatan bangsa demon sangat jauh di atas kita. Walau kita menang jumlah tetapi kualitas kita kalah kemana-mana. Banyaknya jumlah tidak akan mengalahkan kualitas. Coba tuan lihat, berapa banyak korban di pihak kita dan berapa banyak korban di pihak lawan. Aku saja secara sepintas bisa melihat, kita sangat banyak kehilangan pasukan. Aku pikir peperangan harus segera dihentikan. Itu jalan terbaik yang bisa kita lakukan agar bangsa manusia tidak punah.” Kataku.
Terlihat badan Bisma menggigil, tampak jelas kemarahan pada wajahnya yang mungkin sudah tidak bisa ia sembunyikan lagi. Tak lama dia pun berkata, “Aku tidak terima jika kau mengatakan bangsa kita akan kalah dan harus menyerah. Bangsa manusia adalah penguasa Azumath. Kau seharusnya malu mengatakan itu!”
“He he he ... Kalau memang sebagai penguasa Azumath, bagaimana jika kita berperang dengan bangsa naga? Kita harus sadar kalau kita adalah bukan penguasa Azumath. Bagiku, penguasa adalah orang yang bisa menguasai orang lain. Perintahnya selalu dipatuhi orang lain. Jika masih ada yang berani melawan maka tidak bisa disebut penguasa.” Kataku santai sambil menatap Bisma yang semakin menggigil.
“Aku tidak percaya kau mengatakan itu.” Bisma mulai mendesis marah.
“He he he ... Percaya diri itu baik, tetapi berlebihan hanya akan menjungkalkan diri sendiri pada akhirnya. Jangan pernah merasa lebih hebat, lebih kuat atau lebih dari segalanya daripada orang lain, karena selalu akan ada orang yang melebihi kita.” Kataku menanggapi santai kemarahan Bisma.
“Lebih baik kau pergi dari sini. Aku tidak sudi berteman dengan seorang pengecut sepertimu.” Tiba-tiba Bisma berdiri lalu menunjuk keluar.
Aku pun ikut berdiri dan menyambar tas gendongku, “Tuan nanti akan merasakan sendiri kebenaran kata-kataku.”
Aku tak lagi menghiraukan Bisma yang marah. Kakiku melangkah keluar lalu berjalan ke arah barat menjauhi perkemahan pasukan. Raut wajah para prajurit yang kebetulan berpapasan tampak sangat semangat. Tak ada rasa gentar di hati mereka demi membela kejayaan ras manusia. Tetapi menurutku mereka lupa bahwa kekuatan mereka tidak sebanding dengan kekuatan lawan. Maka sekarang aku mengerti, mengapa Petteri mengatakan aku harus menyelamatkan ras manusia dari kemusnahan. Ternyata peperangan bukanlah jalan. Jalanku adalah harus mencari cara untuk menghentikan peperangan.
Tak lama, aku sampai di jalanan tanah yang lumayan luas dan datar. Kususuri jalan tanah ini berharap menemukan tempat atau kampung untuk beristirahat. Untungnya udara di sini tidak jauh berbeda dengan udara di desaku. Berhawa sejuk dan nyaman. Pesawahan dan perbukitan hijau yang tampak eksotis, pemandangannya pun indah dan mempesona. Benar-benar memanjakan mata. Tiba-tiba terdengar suara lari kuda mendatangani dari arah belakang. Aku segera menolah dan terlihat Bisma berkuda dan membawa kuda lain di sampingnya.
“Kau memerlukan kuda ini. Ambilah! Itung-itung aku membayar utang budi.” Suaranya ketus sambil melempar tali kekang. Segera saja aku tangkap.
“Terima kasih.” Kataku sambil tersenyum dan menganggukan kepala.
Bisma tidak menjawab, dia langsung membalikan kudanya dan melesat meninggalkanku begitu saja. Ku perhatikan kuda pemberian Bisma. Kuda yang sangat gagah, tampan, mempesona dan lembut. Aku elus-elus lehernya sebagai tanda perkenalan. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku pun langsung tersenyum saat teringat dengan tunggangan kesayanganku di bumi.
“Karena kau berwarna hitam, maka aku akan menamaimu BLACK, seperti motor kesayanganku.” Kataku dan entah kenapa kuda baruku mengangguk-anggukan kepalanya dengan ke dua kaki depannya bergerak-gerak seakan senang kuberikan nama BLACK. “Ha ha ha ... Ayo Black! Antar aku ke kota terdekat!”
Si Black meringkik menjawab omonganku. Segera saja aku tunggangi kuda hitam pemberian Bisma. Untungnya aku pernah bisa menunggang hewan yang bernama kuda. Di desaku dulu beberapa warga memelihara kuda dan aku sering meminjam kuda mereka untuk sekedar jalan-jalan mengitari desa. Ah, ternyata membawa ilmu itu banyak gunanya walau terkesan remeh temeh. Dalam hidup ini, ilmu merupakan hal yang dibutuhkan sepanjang hidup manusia. Aku mengakui bahwa orang yang kaya akan ilmu pengetahuan akan lebih mudah dalam menjalani kehidupan.
Aku larikan Si Black dengan kecepatan sedang. Sambil menikmati pemandangan alam, aku terus mencari tempat untuk beristirahat bahkan menetap. Setelah kurang lebih berkuda setengah hari, akhirnya aku sampai di sebuah kota kecil. Kota kecil yang sedikit berpenghuni. Kota yang jauh dari kata ramai tetapi tampak damai. Aku berhenti di sebuah kedai. Setelah menambatkan Si Black dan memberinya minum, aku segera masuk ke dalam kedai. Suasana kedai benar-benar sepi, hanya ada satu pengunjung sedang ngobrol dengan pemilik kedai. Mereka pun menyambutku dengan sangat ramah. Senyuman mereka begitu terlihat hangat.
“Selamat siang tuan ... Ada yang bisa saya bantu?” Tanya si pemilik kedai.
“Ya, pak ...” Aku memanggilnya bapak karena pemilik kedai ini aku taksir usianya sudah melebihi 50 tahun. “Saya perlu makan dan minum.” Lanjutku tak kalah ramah.
“Baik, nak ... Tapi menunya hanya nasi dan bakar ayam.” Ujar si pemilik kedai.
“Tak apa-apa, pak ... Apakah di sini menyediakan kopi?” Tanyaku lagi sambil duduk di kursi yang menghadap meja bundar sebagai meja makan.
“Ada, nak ... Saya siapkan dulu makanan dan minumannya.” Sahut si pemilik kedai kemudian berlalu.
“Anak ini dari mana asalnya?” Tanya pria paruh baya yang satunya lagi sambil mendekat lalu duduk di depanku.
“Saya ini pengembara pak. Dunia ini adalah rumah saya, bahkan saya tidak tahu dimana saya dilahirkan. Sejak kecil saya sudah melanglang buana hingga saat ini.” Jawabku benar-benar mengarang.
“Oh, bangsa pengelana rupanya.” Katanya sambil tersenyum.
“Ya, pak ... Tetapi saya berniat untuk tinggal sementara di sini. Apakah bapak mengetahui? Apakah ada rumah yang ingin disewakan di sini?” Tanyaku dan langsung wajah pria paruh baya di depanku berseri-seri.
“Perlu anak ketahui ... Kota ini sudah ditinggal banyak warganya karena ketakutan oleh peperangan di Bukit Harsana. Banyak rumah yang ditinggalkan begitu saja. Kami orang-orang tua memilih bertahan di sini menjaga kota. Anak boleh tinggal di salah satu rumah warga tanpa harus menyewa.” Kata si pria paruh baya berbinar-binar.
“Oh, benarkah?” Tak ayal aku merasa sangat senang.
“Ya ... Asalkan anak merawat rumah yang akan anak tempati dan anak harus rela keluar rumah jika yang punya kembali.” Jawab si pria paruh baya itu masih dengan wajah sumringahnya.
“Kalau begitu, saya ingin menempatinya. Saya akan merawatnya.” Aku begitu antusias.
“Selain sebagai pengelana, apakah anak punya pekerjaan?” Tanyanya kemudian.
Aku sempat berpikir beberapa saat sebelum menjawab, “Saya ini ahli pengobatan.”
“Oh kebetulan sekali ... Sudah lama kota ini tidak mempunyai tabib.” Katanya dan aku tersenyum karena aku baru ingat kalau ahli pengobatan jaman kerajaan sering disebut tabib.
“Mudah-mudahan saya bisa membantu warga yang memerlukan pengobatan.” Kataku.
“Ya, nak ... Saya juga sudah lama punya bengkak di kaki. Kalau sudah kerasa, rasanya sakit sekali.” Ucap si pemilik kedai yang baru saja datang. Dia menyimpan pesananku di atas meja.
“Boleh saya periksa?” Tanyaku.
“Tentu saja.” Sahutnya senang.
Aku pun segera memeriksa pergelangan kaki si pemilik kedai yang telah duduk di kursi sambil menumpukan kakinya di kursi lain. Setelah aku periksa, pembengkakan kaki itu disebabkan asam urat di dalam darah yang mengkristal dan terjebak di persendian kaki. Untuk seorang penyihir elemen penyembuhan sepertiku mengobati penyakit fisik semacam ini adalah sangat mudah. Setelah merapal mantera umum penyembuhan, aku alirankan sedikit energi sihirku ke sendi kakinya. Hanya beberapa detik terlihat pembengkakan di sendi pergelangan kaki pria paruh baya itu hilang.
“Sekarang bapak tidak akan lagi merasa sakit.” Kataku.
“Oh ... Anak ini benar-benar mahir. Bengkak saya hilang.” Ujar si pria paruh baya sembari berdiri lalu menggerrakan pergelangan kakinya.
“Luar biasa ... Kota kita mempunyai tabib sakti sekarang. Sudah sangat lama kota ini tidak punya tabib. Kita sangat beruntung anak berkenan tinggal di sini.” Ucap pria paruh baya yang satunya.
Akhirnya kami pun berkenalan dan berbincang-bincang dengan kedua pria paruh baya ini. Aku memilih lebih menjadi pendengar yang setia dan menyerap apa yang mereka perbincangkan. Ternyata kota yang sekarang aku singgahi bernama Graheim di bawah kekuasaan kerajaan Tinberg. Kerajaan Tinberg memang berbatasan langsung dengan kerajaan Elf terbesar. Aku pun mendapat informasi jika kerajaan Tinberg adalah salah satu kerajaan yang membantu Kerajaan Duvador memerangi bangsa Elf. Kerajaan Duvador sendiri merupakan salah satu dari lima kerajaan terbesar ras manusia di Azumath.
“Sayangnya, empat kerajaan besar lainnya tidak membantu Kerajaan Duvador. Mereka memilih diam dan membiarkan Kerajaan Duvador berperang sendirian melawan bangsa Elf yang dibantu bangsa Demon. Saya rasa Raja Duvador tidak bisa menang melawan bangsa Elf dan bangsa Demon.” Ujar si pemilik kedai.
“Saya juga berpikiran sama. Kita hanya nunggu waktu saja sampai peperangan berakhir dan berharap kita mendapat pengampunan dari bangsa Elf.” Sahut pria satu lagi.
“Jangan berharap bapak-bapak akan selamat dan mendapat pengampunan, karena bangsa Elf bersama bangsa Demon. Saya pikir bangsa Elf telah bersepakat dengan bangsa Demon. Saya khawatir bangsa Demon lah yang akan menghabisi kita semua sebagai makanan mereka.” Kataku sangat berdasar, karena menurut cerita Petteri bangsa Demon sangat menyukai daging manusia.
“Ya ... Itulah yang kita takuti ...” Sang pemilik kedai resah.
“Kalau bapak-bapak tahu resikonya seperti itu, kenapa bapak-bapak masih tinggal di sini?” Tanyaku setelah menyelesaikan makan kemudian menyeruput kopiku yang sudah menghangat.
“Kami lahir dan dibesarkan di tempat ini, kalau pun kami harus mati, di sinilah tempatnya.” Jawab pria paruh baya di depanku.
“Kami orang-orang tua bersepakat tidak akan meninggalkan kota kelahiran kami walau nyawa kami sebagai taruhannya. Tanah ini adalah tanah leluhur kami yang harus kami jaga sampai titik darah penghabisan.” Jelas si pemilik kedai.
Sebenarnya aku ingin memberikan saran agar mereka pergi, namun rasanya akan membuang-buang waktu saja. Mereka sudah berketetapan hati untuk ‘mati’ di tanah leluhur mereka. Kami pun melanjutkan obrolan dengan tema-tema lain, dari sinilah aku banyak mendapat informasi tentang dunia yang bernama Azumath. Tak terasa hari sudah menjelang sore. Setelah membayar makanan dan minuman seharga satu koin perak, aku pun diantar oleh pria paruh baya pengunjung kedai ke sebuah rumah kayu sederhana. Suasana rumah begitu asri dan agak jauh dari jalan utama. Di belakang rumah mengalir sungai lumayan besar dengan air yang sangat jernih. Di belakang rumah terdapat istal tempat Si Black ngandang.
Si pria paruh baya berpamitan dan aku pun kini meninggali rumah penduduk yang meninggalkan kota. Di dalam rumah hanya ada sebuah tempat tidur dan lemari kayu. Barang-barang keperluan sehari-hari dibawa pemilik rumah mengungsi ke tempat lain yang jauh dari lokasi peperangan antara bangsa manusia dengan bangsa Elf yang dibantu bangsa Demon. Bagiku ini sudah sangat lumayan apalagi setelah si pemilik kedai memberiku lampu minyak untuk dijadikan penerangan.
Sore berganti malam. Di bawah penerangan lampu minyak yang tergantung di tiang, aku mulai mengeluarkan dua buku sihir pemberian Petteri. Saat aku mengangkat kedua buku sihir, tiba-tiba jatuh kertas yang terlipat. Aku ambil kertas itu lalu membukanya. Ternyata kertas di tanganku ini adalah tulisan Petteri seperti sebuah surat yang ditulis untukku.
Saudaraku ...
Sebelum kau mempelajari sihir elemen cahaya, kau harus meningkatkan kapasitas energi sihirmu. Akan aku jelaskan kapasitas energi sihir dalam tulisanku ini.
Energi sihir adalah aspek penting dari setiap penyihir karena ia adalah sumber dari kekuatan sihir, yang digunakan untuk mengaktifkan berbagai mantra sihir. Energi ini secara alami ada dan mengalir di dalam diri setiap orang yang berasal dari penyerapan energi-energi alam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap orang dapat menggunakan sihir sampai batas tertentu. Seseorang yang memiliki kapasitas energi sihir besar memungkinkan untuk menguasai teknik sihir kelas atas. Umumnya orang-orang menilai kuat atau tidaknya seorang penyihir tergantung dari berapa besar energi sihir yang dimiliki. Adapun rating kapasitas energi sihir yang berlaku adalah:
- [Steel] Kapasitas Energi Sihir 1-99
- [Bronze] Kapasitas Energi Sihir 100-999
- [Silver] Kapasitas Energi Sihir 1000-1999
- [Gold] Kapasitas Energi Sihir 2000-2999
- [Black-Gold] Kapasitas Energi Sihir 3000-4999
- [White-Gold] Kapasitas Energi Sihir 5000-6999
- [Diamond] Kapasitas Energi Sihir 7000-9999
- [Diamond Glory] Kapsitas Energi Sihir 10000 – Tak Terbatas
Untuk mengukur seberapa besar kapasitas energi sihirmu, aku memberikanmu sebuah kristal berwarna hijau yang disebut [Batu Mana]. Periksalah di dalam tasmu. Cara menggunakannya sangat mudah, kau hanya mengalirkan energi sihirmu ke [Batu Mana] tersebut, nanti dengan sendirinya akan muncul angka sebagai besaran kapasitas energi sihirmu. Seperti yang pernah aku katakan, menggunakan sihir elemen cahaya memerlukan energi sihir yang tinggi. Jadi tingkatkan kapasitas energi sihirmu sampai minimal levelmu berada di tingkat [Diamond], semakin tinggi semakin baik. Ada tiga cara untuk meningkatkan kapasitas energi sihir yaitu pertama dengan cara bermeditasi, kedua melatih fisikmu, dan ketiga membunuh magical beast. Cara tercepat meningkatkan kapasitas energi sihir adalah dengan membunuh magical beast.
Magical beast adalah makhluk sihir yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu sebelum eksistensi sihir menyebar di pemukiman manusia. Magical beast merupakan makhluk mistis yang memiliki daya serang tinggi dan keahlian khusus. Beberapa kelompok bahkan menganggap magical beast adalah dewanya sihir karena kekuatan yang mereka miliki. Di Azumath, ada beberapa kelas untuk magical beast berdasarkan jumlah kapasitas energi sihir yang mereka miliki. Tentang keberadaan magical beast, aku sudah menulis tempat-tempat mereka berada dalam surat ini. Tapi sekali lagi jangan kau bocorkan kepada orang lain, karena mereka pun akan memburunya untuk meningkatkan kapasitas energi sihir mereka. Sesungguhnya magical beast sangat sulit ditemukan, butuh biaya dan waktu yang sangat besar untuk menemukan satu saja magical beast. Untuk langkah awal, pelajari dulu sihir elemen petir sebagai modalmu memburu magical beast.
Berjuanglah dan aku percaya kalau kamu akan berhasil.
Petteri
Aku segera saja mencari kristal berwarna hijau yang diceritakan Petteri dalam suratnya. Aku berhasil menemukannya. Lalu aku mengonsentrasikan energi sihir milikku kemudian memasukan energi sihir milikku ke dalam [Batu Mana] digenggamanku. Perlahan [Batu Mana] itu mengeluarkan cahaya yang semakin lama semakin terang diikuti oleh nominal angka yang terus bergerak dari 1 – 95 – 204 – 635 – 920 – 2250 – 4072 – 5899 sebelum akhirnya berhenti bersinar. Menurut keterangan Petteri, kapasitas manaku berada di level [White-Gold] berarti tinggal beberapa langkah lagi menuju [Diamond]. Dan mulai saat inilah aku membuka buku sihir elemen petir untuk aku pelajari.
References
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ CHAPTER 15 A (www.forumitu.com)
- ^ CHAPTER 15 B Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)
- ^ Klik (www.forumitu.com)