Kicauan burung terdengar merdu saling sahut-menyahut. Di pagi buta saat tetes embun pagi masih malu-malu untuk melepaskan genggamannya pada ujung dedaunan. Gemericik air dari kali kecil yang mengalir teratur juga tak kalah riuh indah. Sang surya belum berani menampakkan wujud membaranya. Hanya fajar di ufuk timur yang mulai berseri menyongsong kehidupan.
Tidak jauh dari jalan raya, seorang pria paruh baya baru saja bangun dari mimpi indahnya. Dia tinggal di sebuah bangunan semi permanen. Di tempat tersebut dia tinggal dengan dua orang lagi yang merupakan sepasang suami istri. Mereka bertiga sama-sama bekerja untuk juragan Romli, sang juragan empang. Ketiganya sudah hampir dua puluh tahun bekerja untuk juragan Romli.
Empang milik juragan Romli terbilang cukup besar. Total ada tujuh kolam di sana. Satu kolam untuk mancing kiloan. Satu kolam untuk harian, kadang juga dipakai untuk galatama. Dua kolam tersebut ukurannya paling besar. Sisa lima lainnya adalah kolam yang lebih kecil untuk ikan-ikan tertentu. Mulai dari Bawal, Pating, Nila, Lele, hingga Gurame.
Seperti biasanya, pak Bejo si penjaga empang, setelah bangun langsung bebersih sekitar. Biasanya sampah bekas pemancing hari sebelumnya belum sempat dibereskan. Lokasi kolam pemancingan milik juragan Romli memang cukup strategis. Hanya berjarak beberapa ratus meter dari jalan raya. Setiap harinya selalu ramai dikunjungi para pemancing, baik warga sekitar maupun pemancing dari daerah lain.
Pak Bejo dibantu oleh Imran, penjaga empang yang lain. Usianya sekitar empat puluhan awal. Imran memiliki istri bernama Imah. Imah setiap hari nya jadi ibu kantin di empang juragan Romli yang menyatu dengan bangunan setengah permanen yang mereka tinggali. Kantin tersebut menjajakan aneka makanan dan minuman untuk para pemancing. Selain menjadi ibu kantin, Imah juga merangkap sebagai asisten di rumah juragan Romli, yang terletak di belakang dari area pemancingan tersebut. Namun karena anak-anak juragan Romli sudah besar, setiap harinya paling hanya memasak untuk keluarga tersebut dan bebersih dua atau tiga hari sekali.
Juragan Romli sendiri seumuran dengan pak Bejo. Dia sudah lima tahun menduda karena ditinggal mati oleh istrinya. Juragan Romli memiliki tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Yang paling besar perempuan, namanya Sherly, usia dua puluh delapan tahun dan sudah bekerja di sebuah instansi pemerintah. Anak kedua laki-laki, namanya Roy, dua puluh dua tahun dan masih kuliah tingkat akhir. Sedangkan yang paling kecil namanya Sherin, baru delapan belas tahun dan masih kelas tiga SMA.
Hari sabtu pemancingan biasanya akan ramai. Jika akhir pekan seperti ini biasanya akan ada mancing galatama. Maka dari itu pak Bejo dan Imran bangun pagi dan memulai aktivitas. Berbeda dengan aktivitas di bangunan yang ditempatinya, di rumah utama masih terlihat sepi. Hanya juragan Romli saja yang biasanya sudah bangun. Setelah sholat subuh berjamaah di Masjid, biasanya beliau akan jalan-jalan olah raga pagi atau sekedar melihat-lihat di sekitaran kolam. Sedangkan ketiga anaknya masih berada di kamar masing-masing. Setelah melalui hari yang cukup panjang dari senin hingga jumat, sabtu pagi adalah waktu yang tepat untuk melakukan pembalasan, bangun siang.
“Hari ini ada lomba lagi mas?”, tanya Imah pada suaminya setelah menyiapkan sarapan.
“Iya, kenapa?”
“Enggak apa-apa, kalau ada berarti aku masaknya agak banyakan seperti biasanya, mudah-mudahan ramai,” balas Imah.
“Oh, iya, mudah-mudahan, kamu mau belanja sekarang?”
“Iya mas, sebentar lagi Imah mau berangkat belanja.”
“Tapi ganti baju dulu, kan?” tanya Imran yang sesaat memandangi istrinya dari atas ke bawah. Tentu saja Imran bertanya seperti itu, karena Imah hanya mengenakan daster pendek sedikit di atas lututnya. Daster itu cukup tipis karena termakan usia. Meskipun sudah mendekati usia empat puluh, Imah masih terlihat menarik, dan menggoda tentunya. Kulitnya tidak putih, agak sedikit coklat, namun bersih dan halus. Meskipun ada sedikit gumpalan lemak di perut nya, namun masih terlihat ideal. Semua itu disempurnakan dengan bamper depan dan belakangnya yang oversize.
“Ya jelas ganti dong, emangnya mas mau mata abang tukang sayurnya lompat keluar karena liatin toket imah? Hihihi,” ledek Imah.
“Jelas enggak dong, enak aja, ya udah sana berangkat, kalau ga berangkat-berangkat nanti mas sodok lagi bokong mu yang bahenol itu,” balas Imran sambil meremas manja pantat istrinya.
“Ih, mas nakal banget sih, malu tuh sama kang Bejo, hihihi,” ucap Imah karena kenakalan suaminya tadi tepat dengan kehadiran Bejo.
“Udah ga apa-apa, anggep aja saya ga ada, suami istri mah bebas mau ngapain aja, haha, ya ga Mran?” timpal Bejo.
“Haha, betul kang,” jawab Imran mengiyakan sambil meremas kembali bongkahan pantat istrinya. Parahnya remasan tangan itu hampir membuat daster bagian belakangnya tersingkap. Untung saja Imah langsung menghindar sambil merajuk manja pada suaminya. Kalau tidak mungkin pantat bulatnya yang seksi akan jadi santapan empuk juga buat Bejo.
Imah pun langsung berangkat belanja. Bejo dan Imran melanjutkan sarapan mereka sambil ngopi, dengan rokok juga tentunya. Mereka berbincang ringan. Biasanya tidak jauh seputar empang yang mereka jaga. Paling sesekali mengarah ke hal-hal mesum. Yah namanya laki-laki, tidak afdol kalau tidak ada obrolan semacam itu. Apalagi untuk orang-orang yang secara pendidikan agak kurang seperti mereka, obrolan yang berat-berat tidak ada gunanya.
Imran dan Bejo menatap ke arah bangunan rumah juragan Romli. Mereka berdua menatapnya dari kejauhan. Kejadian mesum antara Imran dan istrinya tadi membuat mereka secara tidak sadar berbincang tentang selangkangan. Dan tanpa disadari juga, objek mesum mereka adalah salah dua dari penghuni rumah yang sedang mereka pandangi.
***
Sementara itu di rumah juragan Romli, satu persatu penghuni rumah itu sudah mulai bangun. Sherly biasanya bangun lebih dulu. Sebagai anak perempuan dan yang paling tua, sosok Sherly saat ini memang bertransformasi menjadi pengganti ibunya. Ya meskipun pekerjaan rumah tangga sebagian besar sudah dikerjakan oleh Imah, namun satu dua pekerjaan rumah tangga lainnya dia kerjakan sendiri. Atau paling tidak sekedar memberikan perhatian kepada kedua adiknya, menjadi tugas dan tanggung jawab barunya. Sebagai seorang perempuan, Sherly memang sudah matang. Kondisi nya yang ditinggal lebih cepat oleh sang ibu membuatnya jauh lebih mandiri dari sebelumnya.
Sherly menggeliat pelan dari tempat tidurnya. Meskipun baru bangun tidur, namun Sherly tetap nampak mempesona. Pesona dari dalam diri nya itu disempurnakan dengan fisiknya yang menawan. Wajahnya ayu. Kulit tubuhnya putih mulus seolah tidak ada cela. Tubuh nya proporsional. Dadanya membusung ke depan. Pantatnya menungging ke belakang. Perutnya rata. Pinggangnya ramping. Benar-benar bak gitar spanyol. Sungguh idaman bagi semua orang.
Dia lalu mengambil bra dari balik bantalnya. Sherly memang selalu melepas bra setiap akan tidur malam, yang dia pahami akan menjaga kesehatan payudaranya. Melon kembar yang menjadi salah satu aset paling berharga miliknya. Sherly lalu bangun dan keluar kamarnya setelah selesai mengenakan bra nya kembali. Dia melihat ke dua pintu kamar adiknya, sesuai prediksi dua-duanya masih tertutup rapat.
“Roy, udah bangun?” panggil Sherly dari depan pintu yang masih tertutup.
“Udah…” balas adik laki-laki nya itu dari dalam.
“Keluar lah, dikamar mulu kek perawan,” ucap Sherly kembali. Tidak ada balasan lagi dari dalam. Sherly hanya geleng-geleng kepala. Dia lalu berjalan ke arah kamar adik bungsu nya.
“Rin, udah bangun?”
“Udah ka,” balas suara lembut dari dalam.
“Keluar lah, perawan jam segini masih aja di dalem kamar,” protes Sherly. Tidak lama kemudian pintu terbuka.
“Lah, tadi mas Roy dibilang kek perawan di kamar mulu, ya Sherin ga salah dong kalau di kamar mulu, hihihi,” balas Sherin.
“Denger aja kamu,” balas Sherly sambil berbalik dan berjalan menuju ruang keluarga. Sherin mencoba mengikuti namun segera dihentikan oleh Sherly.
“Heh, kebiasaan, kamu ini udah gede, masa mau keluar kamar cuma pakai baju begitu?” protes Sherly. Sherin memang masih mengenakan pakaian tidurnya yang berupa celana tipis berbahan satin yang super pendek, dan piyama dari bahan yang sama, dan sama seperti Sherly tadi, tanpa mengenakan bra.
“Hihihi, abis nyaman kalau begini.”
“Tetep aja udah ga pantes, kalo mau begitu makanya buruan kewong!”
“Idih, males banget, ka Sherly aja belum kewong-kewong.”
“Hih, ngejawab mulu kalau dibilangin, pokoknya ga ada cerita kamu keluar kamar ga pakai kutang, titik!”
“Hihihi, iya-iya kaka ku tercinta yang paling cantik sedunia,” ucap Sherin manja sambil merangkul lengan kiri Sherly. Terasa sekali kenyalnya gundukan payudara Sherin yang ukurannya sebelas duabelas dengan milik Sherly itu. Namun karena mereka sama-sama perempuan, maka hal tersebut adalah hal yang lumrah dan biasa.
“Eh, ka…” ucap Sherin.
“Apaan?”
“Pakein dong, kutangnya, hihihi,” goda Sherin.
“Idih, najis, udah-udah sana-sana, kaka mau bikin sarapan dulu, mau sekalian ga?”
“Hihihi, mau dong…makasih ya kaka cantik…” ucap Sherin lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya.
“Iye…”
Sherly lalu beranjak ke dapur. Diurungkan niatnya ke ruang keluarga karena tiba-tiba dia merasa lapar. Kadang dia suka geleng-geleng kepala dengan kedua adiknya. Keduanya memiliki karakter yang berbeda dan keunikan masing-masing. Roy, mungkin karena seorang laki-laki, agak sedikit cuek, tapi untungnya dia tidak manja seperti anak laki-laki satu-satu nya seperti biasanya. Sedangkan sherin, udah cewek, bungsu lagi, manja nya ampun-ampunan. Mereka berdua adalah orang yang paling disayanginya setelah ayahnya, dan setelah ibu nya telah tiada.
Pintu dapur terbuka saat dia tiba di dapur. Ternyata ayahnya sudah pulang.
“Abis olah raga, Yah?” tanya Sherly.
“Adik-adik mu udah bangun?” tanya balik ayah nya.
“Kebiasaan, ditanya malah nanya balik.”
“Haha, iya, biasa, jalan kaki sambil memantau sekitar,” jawab ayahnya.
“Dasar, juragan, hihihi, Roy udah bangun tapi masih di kamar, Sherin juga udah, bentar lagi paling keluar,” balas Sherly sambil menyiapkan beberapa lembar roti tawar dan selai. Dia berencana untuk sarapan roti saja.
“Mau bikin roti? nih ayah beliin nasi uduk,” ucap ayah nya sambil duduk di meja makan dan membuka bungkusan yang dia bawa dari luar tadi.
“Apa? Sherly sarapan nasi uduk? Oh No!! Melar semua nanti badan Sherly.”
“Ga apa-apa suburan dikit, ga semua laki suka yang kurus kering, kaya babe mu ini, hahaha.”
“Hahaha, pantes mama dulu ga boleh kurus, hahaha, ternyata.”
“Pada ngobrolin apa nih? Aku yah? Seru amat kayanya, hihihi,” ucap Sherin yang tiba-tiba datang dari arah dalam. Sherin sudah berganti baju dengan yang lebih pantas. Celananya sudah selutut. Pun begitu dengan payudarannya, kini sudah terbungkus dengan bra yang ia kenakan semalam sebelum tidur. Anak seusia Sherly mungkin belum paham kalau meskipun keluarga sendiri, ayah atau kakak nya bisa saja sange kalau lihat dia tidak mengenakan bra.
“Yee…pede banget siiih…” balas Sherly sambil memperhatikan adik bungsunya, memastikan adik ceweknya itu sudah mengenakan bra.
“Pagi yah,” ucap Sherin sambil mencium pipi kanan ayahnya, lalu duduk di sebelahnya.
“Pagi sayang, tadi ayah minta kakak mu buat sarapan nasi uduk, tapi ga mau katanya takut melar, haha, ada-ada aja.”
“Eh, ya jelas dong yah, kalo sampai melar nanti ga jadi primadona kampung sini lagi dong, siapa yang ga kenal coba dengan Sherly si cantik anaknya juragan Romli? hihihi.”
“Sirik aja lo, bilang aja kalah saing,” cibir Sherly, tapi tentu saja itu hanya bercandaan.
“Ga apa-apa sekarang kalah saing, liat aja nanti kalau aku udah kerja, udah punya duit sendiri, kakak mah lewat pokoknya, hihihi.”
“Ya ya ya, percaya aja deh, nih roti nya, mas Roy belum bangun juga ya?” tanya Sherly.
“Tau, tadi udah Sherin teriakin tapi ga nyaut,” balas Sherin.
“Tu anak suruh bantu-bantu di kolam napa sih yah, biar ga lembek jadi cowok, Sherly perhatiin ngedekem mulu di kamar,” ucap Sherly kembali.
“Hahaha, lagi sibuk skripsi kan katanya, bener lagi skripsi kan ya tuh bocah?” tanya juragan Romli.
“Hahaha, ayah ga percaya sama anak sendiri,” balas Sherin.
“Iya dia bener lagi skripsi kok yah, Sherly sering bantuin,” balas Sherly.
“Syukur deh, ayah berharap si Roy itu minimal bisa sama sukses nya seperti kakak nya.”
“Aamiin,” balas Sherly dan Sherin berbarengan.
“Nah, ini dia yang lagi bahas,” usap Sherin saat melihat Roy datang ke dapur. Roy lalu duduk di sebelah kanan Sherin, atau di seberang ayahnya. Sedangkan Sherly ada di seberang Sherin.
“Eh, lagi ngobrol apa nih? Gue yak? haha,” canda Roy sambil ngambil bungkusan nasi uduk yang ada di tengah meja.
“Dateng-dateng main ambil makanan aja lu,” cibir Sherin pada kakak nya.
“Bodo!!” balas Roy singkat.
“Udah-udah, masih pagi juga, Roy, skripsi kamu gimana perkembangannya?” tanya Sherly menengahi.
“Aman, tenang aja, terima beres aja pokoknya tahun ini wisuda,” jawab Roy dengan yakin.
“Ah ga yakin Sherin, orang kerjanya kalo ga nongkrong, game online, nongkrong, game online,” ledek Sherin.
“Diem aja lu bocah, gue geraknya diem-diem, sekali gerak langsung wisuda nanti.”
“Oke ya, kita liat aja nanti, gue turutin satu permintaan lu kalau bisa wisuda tahun ini, hahaha.”
“Bakalan nyesel lo bilang gitu.”
“Tapi sebaliknya juga ya, kalau sampai lo telat, lo juga musti nurutin satu permintaan gue, apapun itu.”
“Okeh, deal!!”
“Ini apa sih pagi-pagi malah pada taruhan?”
“Hahaha, bagian dari penyemangat ini yah, ya kan mas?” balas Sherin.
“Oh iya, tentu saja, eh ngomong-ngomong hari ini pada mau ngapain? hari sabtu nih, weekend-weekend.”
“Emang kenapa? mau ngajakin jalan keluar?” tanya Sherly.
“Yuk, udah lama kan ga jalan keluar bareng-bareng? Roy yang traktir deh…”
“Wuih, duit dari mana lo mas? ngebegal yak? atau abis morotin tante-tante? hahaha,” ledek Sherin kembali.
“Hush!!” tegur juragan Romli.
“Enak aja, gini-gini gue pinter cari objekan, makanya jangan remehin kakak lo ini, atau kalau ga mau ikut juga ga apa-apa, lo di rumah aja jaga empang, temenin mang Bejo, hahaha.”
“Enak aja, ikutlah, wee!!”
“Ya udah kalian pada sarapan buru, terus siap-siap, ngoceh aja berdua dari tadi, kayak burung nya mang Bejo aja,” omel Sherly.
“Siap ndan,” balas Sherin dan Roy berbarengan.
Mereka berempat lalu sarapan bersama, meskipun tetap masih diselingi dengan obrolan dan candaan ringan. Apa yang dikatakan Roy tadi memang benar adanya. Dia memang baru saja mendapatkan rezeki dari obyekan yang dia kerjakan. Maka tidak ada salahnya bila dia berencana mengajak keluarganya untuk menghabiskan weekend bersama, begitu pikirnya.
***
Senja mulai menyapa, dikala sore menjelang. Suasana semakin ramai sore itu di empang pemancingan juragan Romli. Malam minggu biasanya akan menjadi malam yang paling ramai. Hal tersebut karena ada event rutin mancing galatama. Biasa para pemancing-pemancing profesional seantero pinggiran ibu kota berkumpul di kolam pemancingan juragan Romli. Hadiahnya pun tidak tanggung-tanggung, bisa sampai puluhan juta. Dan kalau sudah hari sabtu, maka akan jadi hari sibuknya Bejo dan Imran. Dan biasanya juga beberapa pemuda sekitar empang akan jadi caddy dadakan untuk para peserta lomba.
“Juragan Romli tumben ga keliatan bang Jo,” tanya salah seorang pemancing.
“Iya lagi pergi sekeluarga,” balas Bejo.
“Keluar kota?”
“Enggak, paling malem juga pulang.”
“Oh malam mingguan?”
“Iya, juragan mah bebas, emang kita-kita yang kacung ini, malam mingguannya sama ikan aja, hahaha,” kelekar Bejo.
“Hahaha, bisa aja lo bang jo, eh tapi ngomong-ngomong neng Sherly ikut pergi juga dong?” tanya pemancing itu lagi.
“Ya iyalah, kenapa? ada orangnya juga ga bakal nemenin kita-kita di sini, hahaha.”
“Kagak, kirain ga ikut gitu, di rumah sendirian, kan ane bisa ngapelin, hahaha.”
“Halah kaya berani aja, lagian mana level dia sama lu, neng Sherly cantik, pinter, PNS lagi, yang gue denger juga jabatannya udah lumayan, lah elu, kerja serabutan, mancing mulu kerjaannya.”
“Hahaha, ini juga mancing jadi penghasilan tambahan, emang pernah ane pulang kagak bawa amplop, hahaha, eh tapi bang, neng Sherly emang cantik yak, bohay lagi, hahaha.”
“Rejekinya bang jo tuh, bisa tiap hari ketemu dua bidadari cantik,” sahut pemancing yang lain.
“Wah iya juga yak, yang paling kecil siapa namanya? Sherin ya? udah lulus belum dia? masih SMA aja body nya udah sekel gitu, ajib banget dah.”
“Makanya gue bilang juga apa…”
“Eh bang Jo, lo apa ga pernah gitu, kepikiran atau sange gitu kalau deket-deket sama neng Sherly? hahaha.”
“Pasti pernah lah, mana melon kembarnya pada bulet-bulet gitu lagi, heran gue, apa ga berat itu ya?”
“Kenyel banget pasti kalau di remes-remes.”
“Buat jepit kontol pasti enak banget, hahaha.”
“Sialan ya lo pada, Sherly sama Sherin udah gue anggep seperti anak sendiri itu juga,” balas Bejo membela diri namun dengan agak salah tingkah.
“Udah jadi kaya anak sendiri juga kalau nungging bakalan ngaceng lu bang Jo, hahaha,” ledek pemancing itu lagi.
Mulut boleh berkata begitu, tapi isi hati siapa yang bisa tahu. Sudah sejak lama sebetulnya Bejo menaruh perhatian terhadap Sherly. Bukan perhatian dalam bentuk kasih sayang, namun nafsu birahi yang menggelora. Sebagai seorang bujang lapuk, bisikan setan untuk berbuat mesum memang selalu memenuhi kepalanya. Apalagi setiap hari dia diperlihatkan oleh dua sosok bidadari yang cantik menggoda. Bahkan ketika si bidadari sudah berusaha untuk menjaga diri, bisikan setan itu akan selalu ada.
***
Keesokan harinya, sama seperti hari sebelumnya. Juragan Romli sudah keliling sekitaran kolam-kolam miliknya untuk memantau keadaan. Maklum, semalam dia dan ketiga anaknya pulang cukup malam, sekitaran pukul sepuluh malam, sehingga dia tidak sempat untuk sekedar melihat para pemancing yang ikut lomba. Setelah keliling dan memantau keadaan, biasanya dia akan lansung menyambangi Bejo ataupun Imran. Yah namanya juragan, sebaik apapun sifatnya, pasti ada komplainnya.
Di dalam rumah, Sherly baru saja bangun. Kali ini lebih pagi dari kemarin. Dia hendak dan sudah berencana untuk olahraga pagi. Itu merupakan hal yang wajib dilakukan ketika hari sebelumnya khilaf makan. Baginya jumlah kalori yang masuk harus sebanding dengan kalori yang dikeluarkan. Sedikit perfeksionis memang, tapi tabiat perempuan, apalagi yang masih gadis memang seperti itu.
Sebuah kaus lengan panjang yang cukup ketat, meskipun tidak press body, dipadukan dengan celana leging ketat membungkus tubuh sintalnya. Sementara sebuah bergo manis dengan warna senada melengkapi kecantikannya hari ini. Setelah merasa cukup pas dengan dandanannya, Sherly mengetuk pintu kamar Roy. Seperti biasanya pula Sherly selalu mengajak Roy untuk lari pagi. Selain karena jadi ada teman ngobrol, dia jadi merasa lebih aman ketika ada sosok laki-laki yang menjaganya saat sedang keluar rumah.
“Udah siap belum bro?” panggil Sherly dengan dan bercanda dan suara diberat-beratkan layaknya seorang laki.
“Udah sist, yuk jalan,” canda balik Roy yang sebaliknya berlagak seperti bencong.
“Idih amit-amit, najis lu!”
“Lah lagian kakak juga, haha,” balas Roy sambil menutup pintu. “Sherin diajak ga?” tanya Roy kembali.
“Enggak kayanya, belum bangun juga, udah kita berdua aja, kalau dia mau ikut ya udah bangun dari tadi.”
“Okay,” balas Roy singkat.
Mereka berdua lalu jalan beriringan keluar dari pagar rumahnya. Lalu berjalan menyusuri jalan kecil yang cukup untuk dua mobil berpapasan. Jalan itu menghubungkan rumah utama dengan bangunan rumah yang ditinggali Bejo dan Imran. Di sebelah kiri jalan itu ada selokan kecil. Sedangkan di kanan berupa Kolam untuk pemancing kiloan. Di antara Kolam dan jalan ada jarak kurang lebih lima meter. Dan di sepanjang pinggir jalan antara kolam dan jalan itu tumbuh beberapa pohon yang membuat suasana pinggir kolam menjadi teduh dan asri. Roy dan Sherly berjalan beriringan. Mereka berdua bertemu dengan Imah yang sedang menyapu area pekarangan kantin.
“Mau olahraga pagi mba Sherly, mas Roy?” sapa Imah basa-basi kepada dua anak majikannya.
“Iya, wah rajinnya pagi-pagi udah bersih-bersih,” balas Sherly.
“Yah, namanya juga tuntutan profesi, hihihi,” ucap Imah kembali.
“Mantab, lanjutkan profesionalitasnya mba Imah,” giliran Roy yang menyahuti.
“Hihihi, siap mas Roy, semangat ya olahraganya, hihihi,” balas Imah kembali.
“Mari mba Imah,” ucap Sherly.
“Mari mba Sherly,” balas Imah.
“Ciee disemangati mba Imah, hihihi,” bisik Sherly menggoda adiknya sambil berbisik.
“Apaan sih?” balas Roy.
Roy dan Sherly lalu melanjutkan perjalanannya. Mereka kemudian tiba di gerbang utama. Jaraknya tidak sampai lima puluh meter dari posisinya bertemu dengan Imah tadi. Gerbang ini adalah yang memisahkan area pemancingan dengan jalan. Jadi bisa dibilang jalan yang dilewati Roy dan Sherly tadi adalah jalan pribadi keluarganya. Dan di dalam komplek pemancingan itu ada gerbang lagi yang memisahkan rumah utamanya dengan area pemancingan.
Tujuan dari Roy dan Sherly adalah sebuah taman terbuka hijau yang tidak jauh dari rumah mereka. Taman tersebut selalu ramai oleh warga sekitar yang berolahraga, khususnya di hari sabtu dan minggu pagi. Namun ada juga pengunjung yang hanya sekedar mencari udara segar dengan duduk-duduk di area taman tersebut. Selain ramai oleh pengunjung, taman tersebut juga ramai didatangi para pedagang jajanan yang menjajakan jajanan masing-masing. Dimana ada gula, di situ ada semut. Dimana ada keramaian, di situ pasti akan ada yang berjualan.
Mereka berdua berjalan dengan agak cepat. Tentu saja, karena yang jalannya pelan biasanya adalah iring-iringan pengantin jawa. Terlihat beberapa kali orang yang berpapasan dengan mereka selalu menoleh dan menatap lekat pada Sherly. Bukan tanpa alasan. Dua gunung kembar yang selalu dibawa kemana-mana oleh Sherly itu yang menjadi pusat perhatian. Dua benda kenyal itu seolah menjadi magnet bagi siapapun yang berada di dekat Sherly. Apalagi kaum adam. Sudah pasti akan tergiur dengan keindahan lekuk tubuhnya.
Bulatan daging kenyal seukuran melon kecil itu memang nampak sangat menantang. Apalagi ditambah dengan kecepatan jalannya sekarang, membuat dua gunung kembar itu mantul-mantul seperti bola bekel. Meskipun mengenakan bra, namun bra itu nampak sangat elastis. Saking elastisnya guncangan buah dada Sherly seolah seperti tidak mengenakan bra saja. Keindahan lekuk tubuh itu semakin sempurna tatkala bergo yang dikenakan oleh Sherly tidak lah terlalu lebar. Sedikit di atas puncak gunungnya. Perfect!
“Roy, kabar Sintya gimana?” tanya Sherly. Sintya adalah mantan pacar Roy yang belum lama putus.
“Udah kelaut kayanya,” balas Roy acuh.
“Dih, kakak serius…”
“Udah ada gebetan baru lagi dia.”
“Hahaha, ko lo tau? masih kepoin dia ya?”
“Ya gimana ga tau, kan kita satu jurusan…”
“Oh iya yak, hmm…padahal kakak dulu mikirnya kalian bakal langgeng, anaknya asik, kan seru gitu kalau punya ipar cewek yang kompak, eh pacaran setahun aja ga sampai.”
“Belum jodoh kak.”
“Hahaha, lo kalau lagi berdua gini keliatan banget rapuhnya, kalau ada orang lain aja sok jadi badboy,” ledek Sherly sambil mengacak-acak rambut adiknya itu.
“Hahaha, soalnya cuma kakak yang paling ngerti akuuh,” balas Roy.
“Dih najis!! hahaha.”
“Kakak sendiri juga belum pernah ada yang ngapelin lagi kayanya,” ucap Roy menyelidik.
“Iya tau nih, belum ada yang mepet gue lagi, huhuhu,” balas Sherly manja.
“Ga caya…belum ada yang mepet atau belum ada yang kakak respon?”
“Hahaha, tau aja lo, abisnya lagi males sih, ga tau kenapa.”
“Temen-temen gue banyak banget tuh yang ngefans sama kakak, hahaha.”
“Hahaha, masa sih? ya ampun laki jaman sekarang minat nya sama yang lebih tua ya?”
“Bodo amat lebih tua, yang penting kan nafsuin, eh…” balas Roy keceplosan. Dia langsung salah tingkah.
“Mesum ih!” balas Sherly sambil mencubit pelan pinggang Roy.
“Hahaha, ampun kak, hahaha, tenang aja, temen-temen gue mah ga ada yang berani buat gangguin kakak, soalnya udah gue jagain, lagian gue juga udah bilang kalau kakak gue ga tertarik sama sekali dengan berondong.”
“Uuuh…to twit…maacih yah adiknya kakak yang paling ganteng udah jagain kakaknya yang cantik ini, hihihi,” ucap Sherly dengan gemas sambil menggamit lengan kiri Roy. Sekilas Roy merasakan daging kenyal milik kakak nya itu menekan lengan kirinya. Namun Roy tidak pernah berpikir yang aneh-aneh. Hal tersebut sudah biasa terjadi. Bahkan untuk sekedar pelukan kasih sayang dimana tubuh mereka saling merapat pun itu juga sudah biasa.
Tidak lama kemudian mereka tiba di taman. Suasana taman tampak masih cukup sepi. Baru ada satu dua pengunjung yang datang. Karena dirasa sudah cukup panas, Sherly dan Roy langsung lari kecil-kecil mengelilingi jogging track yang ada. Dan sesuatu yang menggoda itu pun semakin menjadi-jadi. Guncangan gunung kembar itu semakin membahana. Untungnya belum ada banyak orang yang datang di sana. Kalau tidak, mungkin Sherly akan ramai-ramai jadi pusat tontonan.
Jogging track nya cukup panjang. Sekali putaran saja mungkin sudah sama dengan keliling lapangan sepak bola. Hanya dengan tiga kali putaran saja sudah membuat Sherly kepayahan dan memutuskan untuk jalan. Roy yang mengetahui kakaknya sudah kelelahan ikut memelankan tempo larinya. Keringat sudah cukup banyak membasahi baju mereka berdua. Tidak terkecuali Sherly yang muncul ceplakan bra dan tali di tubuh bagian atas nya. Namun hal tersebut belum menyurutkan semangat mereka berdua untuk terus membakar kalori demi hidup sehat dan bentuk tubuh yang ideal.
Total Sherly lima kali mengelilingi jogging track tersebut. Tiga kali lari, meskipun ada jalan nya juga, dan dua kali full jalan. Sedangkan Roy tiga kali lebih banyak. Setelah dirasa cukup, merek berdua lalu menepi. Yang menjadi tujuan adalah abang-abang penjual minuman dalam gerobak yang makal di salah satu sudut pinggir taman. Mereka berdua membeli masing-masing satu botol air mineral lalu duduk tidak jauh dari abang-abang penjual minuman tadi.
“Manteb nih kali ini, kakak bisa lima kali putaran, yah meskipun ada jalannya, hehehe, biasanya mentok empat kali udah gempor,” ucap Sherly sambil duduk. Roy lalu duduk di sebelahnya.
“Keren…” balas Roy singkat.
“Udah gitu doang komennya? pantes aja Sintya kabur, lo nya pelit kata-kata gitu, hahaha.”
“Eh, dia ga kabur ya, tapi selingkuh!”
“Sama aja dodol! gue kasih tau ya, cewek itu sukanya dirayu, dipuji-puji, elo boro-boro, ngomong aja pelit.”
“Resiko jadi cowok cool kak,” balas Roy dengan mimik muka dibuat sekeren mungkin.
“Asli adik gue najong banget pedenya.”
“Hahaha.”
Kemudian hening sebelum Roy memanggil kakaknya pelan.
“Kak?”
“Hem?”
“Kalau juragan Romli nikah lagi gimana ya?” tanya Roy dengan sedikit bercanda. Mereka kadang memang suka menyebut bapaknya itu dengan sebutan juragan Romli seperti orang-orang di sekitar mereka.
“Itu pertanyaan ketakutan atau pertanyaan ide?”
“Lebih ke ide sih.”
“Hmm…gimana ya? kalau kakak jujur agak berat sih, ga kebayang ada wanita lain di rumah selain Sherin dan almarhum mama,” jawab Sherly.
“Paham sih, tapi kadang kasihan melihat beliau udah tua hidup sendiri, sekarang sih masih ada kita-kita, tapi beberapa tahun lagi kita juga pasti akan punya keluarga sendiri, ya kan?”
“Iya betul banget, menurut lo sendiri gimana?”
“Ya kalau emang mau nikah lagi sih ya gue sih ga akan bisa ngelarang kayanya.”
“Kakak mungkin akan juga begitu, sesayang-sayangnya kakak kek almarhum, kakak juga sayang banget sama tuh juragan.”
“Kira-kira ada yang bisa kita comblangin ga ya? hahaha,” tanya Roy.
“Ga usah buru-buru, ntar kalau memang ada jodoh nya juga akan ketemu, intinya mah sekarang kita jadi anak jangan sampai bikin juragan sedih atau kecewa, kalau bisa bikin bangga, terutama elo sebagai anak laki satu-satunya.”
“Berat memang beban jadi anak laki.”
“Iya dong, kalau ga mau berat jadi anak cewek aja, hahaha.”
“Thanks kak udah jadi kakak yang baik dan selalu kasih support ke gue dan Sherin.”
“Sama-sama ade kuh sayang…” balas Sherly sambil menyandarkan kepalanya di bahu kanan Roy. Roy lalu membalasnya dengan mendekap bahu mungil Sherly dan memeluk nya dari samping. Kasih sayang kakak dan adik yang mereka miliki menghilangkan rasa canggung bahwa saat ini mereka sedang berada di tempat umum.
Tidak lama setelah itu mereka memutuskan untuk pulang. Hari kemarin telah berganti menjadi hari ini. Dan hari ini akan segera berganti menjadi hari esok. Tidak ada yang tahu hari esok akan seperti apa. Termasuk mereka berdua dan keluarga kecil mereka. Semua orang selalu berharap yang terbaik. Akan tetapi tidak semua harapan akan selalu terwujud. Kita hanya bisa menjalani.
[Bersambung]