PoV Dimas
“Kamu balik hari ini Dim?” tanya temanku, Bagas. Kami berdua sedang nangkring di DPR, alias di bawah pohon rindang hehehe.
“Ho-oh Gas, kangen rumah aku, kangen emak hehehehe” jawabku.
“Kalau balik kesini bawain aku oleh-oleh dari Jakarta ya Dim”.
“Bisa-bisa, emang kamu maunya di bawain apa Gas?”.
“Sakarepmu Dim”.
“Yo wes, nanti aku bawain dari Jakarta”.
“Suwun Dim”.
“Yauda aku balik ke kos dulu ya, soalnya ntar siang aku sudah terbang” ucapku.
“Iyo Dim, hati-hati di jalan, sampai ketemu lagi di semester depan”.
“Makasih Gas, eh iya, kapan-kapan kamu main ke Jakarta dong, nanti nginep di rumahku aja” ajakku
“Gampanglah Dim, yauda kamu jalan sana, nanti ketinggalan pesawat lho Dim” ucap Bagas memperingatkan diriku.
“Hehehe…, yauda aku cuss sekarang ya” lantas aku bergegas kembali ke kos, meninggalkan Bagas.
Perkenalkan namaku Dimas, mahasiswa ekonomi di sebuah universitas di khalayak timur jawa. Orang yang barusan aku ajak bicara adalah teman kuliahku. Ia penduduk asli di kota ini. Baru dua semester kutempuh, dan sekarang saatnya aku pulang ke ibu kota tercinta, Jakarta.
Sudah tidak sabar aku kembali bertemu dengan ibuku tercinta lagi, yang bernama Uli. Sebagai gambaran, ia berkulit sawo matang, tipikal orang Indonesia pada umumnya. Saat ini ia berumur 43 tahun. Dengan tinggi 156 cm. Yaaa… standard wanita Indonesia lah. Menurutku ibu berwajah sangat ayu namun keibuan, yang menjadi daya tarik dirinya.
Ia bertubuh fit dan langsing, karena dia adalah seorang instruktur atau guru pilates dan juga yoga. Awalnya pas pandemi, ibu terpaksa mengadakan kelas online di rumah. Menggunakan aplikasi video call, ia akan mengajarkan para peserta dari rumah. Tapi meski sekarang sudah mulai berangsur normal, ibu tetap mengajar online dari rumah, di tambah langsung di tempat fitness alias offline.
Tak lupa dengan Adikku, Adit. Ia sekarang masih berseragam abu-abu. Kami terpaut dua tahun. Hubungan kami akur-akur aja, yaa…. seperti kakak dan adik pada umumnya. Sesekali berantem, tapi langsung akur kembali.
Banyak orang bilang dia sangatlah rupawan, alias ganteng banget. Ku akui itu dia jauh, jauh, jauh lebih ganteng daripada aku. Sering sekali teman-teman cewekku kalau kerumah, sering kali bercanda menggoda Adit. Bahkan teman-teman ibu juga suka genit kepada Adit. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka. Lalu bagaimana dengan tanggapan Adit?, ya kalau kulihat dia sih senang-senang saja. Mudah baginya untuk memikat seorang wanita, tapi anehnya sampai sekarang dia masih menjomblo saja. Berbeda dengan aku yang harus jungkir balik untuk memanah hati wanita, yang sampai sekarang juga masih belum berhasil. Hah…..sial.
Ketika aku kelas 3 SMA, Adit kelas 1 SMA. Ia satu sekolah denganku. Dia cukup populer di sekolah, selain ganteng dia juga supel ramah, mudah bergaul ke siapa saja. Sehingga semua orang senang berteman sama dia. Sedangkan aku hanya biasa-biasa saja dalam hal bergaul sama orang. Yang penting aku bukan termasuk kaum yang tertindas hehehe.
Di sekolah Adit dikenal sebagai adik Dimas yang ganteng. Awalnya aku iri bahkan kesal ketika selalu dibanding-bandingkan dengan dia. Aku selalu dianggap jelek ketimbang adikku sendiri.
Tak hanya itu secara fisik tubuh dia lebih besar dan tinggi dariku. Sehingga terkadang aku yang di anggap adiknya, bukan sebaliknya. Namun lama-lama aku menjadi terbiasa, hingga ku anggap sebagai candaan belaka. Adit pun juga sama. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa pertumbuhan dia jauh lebih cepat dariku. Aku ingat ketika dia lulus sekolah dasar, tahu-tahu dia sudah lebih tinggi dari aku. Sekarang aku ber tinggikan badan 168 cm, kalah sama tinggi dia yang 182 cm. Aku masih tidak mengerti pertumbuhan hormonnya dia, sampai-sampai di menjadi besar dan tinggi seperti sekarang.
Karena dia anak bungsu, dia lebih sering dimanja oleh ibu. Begitu juga sebaliknya. Aku juga sering mengalah kepadanya. Jengkelin sih, namun tak apa dia tetaplah adik ku yang kusayangi.
Waktu masih Adit masih SMP, kemana pun ibu pergi dia selalu minta ikut. Terlebih ibu pergi mengajar ke tempat fitness dia pun ikut. Eh taunya, sampai sekarang si Adit malah sering ikut kelas ibu. Kata Adit biar badan sehat dan kuat. Hadees. Aku sendiri juga pernah di ajak oleh ibu, tapi lebih memilih bermain sama teman. Pikirku bosan sekali kegiatan pilates dan yoga itu, nggak ada asik-asiknya.
Ibu pernah bilang kalau Adit waktu kecil sering ikut dirinya karena ia takut ditinggalkan juga, termasuk pelampiasan amarahnya akibat dari ditinggalkan oleh ayah, ehhh.. si Wawan maksudku. Yaaa.,. si Wawan telah pergi jauh dari kehidupan kami bertiga. Ia tidak pernah kami anggap ada lagi. Ia meninggalkan kami semua demi seorang perempuan muda. Mencampakan istri dan dua anak kandungnya sendiri. Ia pergi dari rumah aku saat berumur berumur 14 tahun, dan Adit berumur 12 tahun. Bahkan tak ada sepeser uang pun yang ia tinggalkan untuk kami semua. Sehingga putusan cerai pun tidak terelakkan.
Pria itu benar-benar tidak tahu diri, padahal karena ibu lah dia naik derajatnya. Keuangan kakek dari pihak ibu lah yang membantu usaha si Wawan hingga pesat sampai makmur dan maju. Eh tau-taunya, pria laknat itu kecantol dengan sekretaris muda. Tak mau pusing, keluarga besar ibu memutuskan untuk merelakan perusahaan yang sudah diberikan dana besar oleh mereka itu.
Berbeda dengan Adit, aku lebih bermain sama-sama teman komplek atau main game di kamar sendiri, berusaha tidak memikirkan tragedi yang menimpa kami. Berusaha menghilangkan Wawan dari benakku.
Lalu bagaimana dengan kehidupan kami sejak di tinggal Wawan? Kami semua hidup kembali normal, tak lagi melihat masa lalu, tak lagi memikirkan si brengsek. Semuanya karena kegigihan ibu mendampingi dan menyayangi kami berdua. Aku pernah bertanya kepada ibu, apakah dia akan menikah lagi. Ibu sudah memutuskan tidak akan menikah lagi, ia lebih memilih untuk mengurus kamu berdua. Itulah sepenggal pengenalan singkat keluargaku.
Sampai di bandara, aku segera check-in di counter sekaligus memasukan koper ke bagasi. Selesai semuanya, setelah ku dapat boarding pass, aku langsung naik ke ruang tunggu. Ah! Alangkah baiknya sebelum aku boarding ke pesawat, aku kabari orang rumah terlebih dahulu. Berharap ibu atau Adit bisa menjemputku di bandara. Walau beberapa hari yang lalu sudah kuberitahu mereka kalau aku akan pulang, takut mereka lupa.
Lantas ku raih smartphone ku, dan menelpon mama. Tersambung tapi tidak diangkat, ah mungkin dia sedang ada kelas. Lantas aku mencoba menghubungi Adit. Hmmm…sama saja, tersambung tapi tidak diangkat juga. Apa Adit masih tidur ya, pikirku. Tapi hari sudah siang, paling habis begadang pikirku. Ah sudahlah, nanti saja aku telpon ketika sampai di Jakarta.
Sembari menunggu pesawat aku termenung memikirkan keadaan ibu dan Adit. Karena sibuk kuliah aku benar-benar jarang berkomunikasi dengan mereka lebih detail. Walaupun berkomunikasi aku pasti yang menelpon mereka duluan. Karena mereka takut mengganggu aku sedang kegiatan, jadinya harus aku yang memulai untuk berkomunikasi. Sesekali di waktu senggang aku main game online bersama Adit.
*Ting tong…”Kepada penumpang GK76 tujuan ke Jakarta dipersilahkan naik ke pesawat melalui gate 76” suara panggilan membuyarkan lamunanku. Segera aku naik pesawat.
Hanya dengan waktu satu jam tiga puluh menit, aku sudah tiba di Jakarta. Masih jam tiga kurang. Segera aku turun dari pesawat, Aku mematikan airplane mode di smartphone, agar aku ada sinyal lagi. Saat aku berjalan menuju pengambilan bagasi, ada telpon masuk. Kulihat ternyata Ibu yang menghubungi. Lantas aku angkat.
“Halo Dim, Dimas” suara lembut ibu terdengar memanggilku. Senang rasanya mendengar suara ibu lagi.
“Halo Buuuu…” balas ku menyapa.
“Nghhh…..ohhh”.
Aku kaget-kaget tiba-tiba ibu menggeram dan mendesah juga.
“Ibu kenapa?”.
“Oughhhh…gak apa-apa Dim, ibu lagi regangkan badan habis ngajar kelas online yoga tadi”.
“Oh habis ngajar toh, pantes tadi dimas telpon-telpon kok nggak di angkat”.
“Iyaaa… Dim, maafin Ibu. Kamu dimana sekarang nak?”.
“Ini Bu, aku lagi mau ambil koper dulu”.
“Ohhhh…. Baru Sudah mendarat ya, nghhh… pantes tadi ibu tel-telpon balik kok gak nyambung-nyambung”.
“Ibu memangnya tadi kemana?”
“Kannn…. Lagi ngajar online Dim, makanya nggak denger kamu nelpon”.
“Ohhh iya ya lupa aku…. Terus si Adit kemana bu, tadi aku telpon juga nggak di angkat-angkat”.
“Dia ahhh…. Ikutan sama ibu jugaaahh…”.
“Oalah, dia masih sering ikutan kelas ibu ya”.
“Iyahhhh…..” jawab ibu.
“Berarti ibu atau Adit nggak bisa jemput aku di bandara ya?”
“Nggak bisahhh… kelamaan nanti kamunyaaaa…di bandara ahhh….” jawab ibu. Aku perhatikan dari tadi gaya bicara ibu aneh sekali. Ah paling karena capek habis ngajar.
“Ya sudah bu, kalau gitu aku naik bus D4mr! aja ya, tunggu Dimas di rumah ya Bu”.
“Iyaaaa…ahhh…hati-hati di jalan ya nak, Adit ayo… kakakmu sudah mau pulanggg…”.
*Cleck. Ibu menutup panggilan. Hmmm… ternyata tadi ada Adit di dekat ibu. Ya sudahlah mereka berdua habis kelas yoga, mungkin capek, jadi tidak mungkin jemput juga. Lagipula kalau di jemput mereka, aku akan menunggu lama lagi. Karena jarak dari rumah ke bandara terbesar se Indonesia ini cukup jauh.
Lantas aku melanjutkan langkah kakiku, menuju baggage claim area. Setelah mendapatkan koperku, segera aku bergegas ke tempat pembelian tiket bus. Kutunggu bus yang mengarah ke Blok M datang.
Kupasang headphoneku, mencari playlist yang kumau, dan kudengar lagu yang kupilih. Sekarang aku menunggu bus yang akan mengantarkan aku ke dekat rumah. Huuuhhhh…. Tak sabar aku berbaring di kasur empuk di kamarku. Tak lupa aku sudah tidak sabar melepas kangen dengan ibu dan Adit.
Bersambung….