Bagian 1: halaman 1
Bagian 2: halaman 1
Bagian 3: halaman 3
Bagian 4: halaman 4
Bagian 5: halaman 5
mulustrasi kakak adik Rara & Lala: halaman 5
Bagian 6: halaman 5
Bagian 7: halaman 8
mulustrasi Lala: halaman 8
Bagian 8: halaman 10
Bagian 8B: halaman 11
Bagian 9: halaman 12
Bagian 9B: halaman 13
Mulustrasi Lala: halaman 13
Bagian 10: halaman 13
Bagian 11A: halaman 15
Bagian 11B: halaman 15
Bagian 1
Aku sendirian sore itu, di depan mesin fingerprint.
Di tengah suasana yang masih ramai pada sebuah Skin Care ternama di kotaku.
"Jangan lupa ya Nit" Aku mengkode Nita, seorang beautician di kejauhan.
Dibalasnya singkat dengan kode juga: OK, dengan seulas senyum.
Sore ini aku pulang awal, waktu masih menunjukkan pukul 16:00. Kurapikan sedikit blouseku sambil memencet tombol G.
TING
Lift masih lengang, tidak ramai seperti biasanya saat jam pulang normal.
"Tumben udah pulang bu Laura" Sapa pak Didit, security gedung, sambil menahan tombol lift.
"Iya pak Didit, ijin ada perlu." Balasku singkat.
Sore itu aku mengenakan rok coklat muda yang sepertinya sudah agak kesempitan, efek berat badan yang naik selama pandemi kemarin.
Biasa malah suamiku, Bill yang kuminta membantu mengaitkan kaitan di belakangnya.
Aku merasa pak Didit dari posisinya berdiri, bisa melihat melalui celah blouse hitam kembang-kembangku yang tipis, tali bra hitam dibaliknya.
Bodo amat, hitung-hitung beramal buat kesehatan matanya.
Aku sibuk mengutak atik aplikasi ojol, sambil menunggu lift meluncur mencapai lantai Ground.
Tak lama teks dari Bill melayang di sudut atas layar, kubuka.
"Mam, sory telat.. Mungkin lembur"
"Gimana sih pap, lupa ya? "
"Nggak, nanti mulai aja tanpa papa OK? "
Tidak kubalas lagi. Aku sedikit kecewa.
TING
"Mari pak Didit" Aku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala.
"Silahkan bu Laura" Pak Didit menahan pintu lift sambil mempersilahkan keluar.
TAK TOK TAK TOK
Wedges ku bergema di sepanjang lobby gedung perkantoran dari granit, bersinergi dengan geal geol bokongku yang sedikit overdosis proporsi lebarnya dibanding keseluruhan badanku yang sebenarnya masih tergolong langsing.
Hanya bagian pinggang ke bawah yang sedikit membengkak, yang biasa disebut pear shape body.
Dari balik kubah air mancur, aku melihat sebuah Sigra putih berjalan pelan, sedikit ragu.
Pasti ini.
Kuangkat tanganku memberi kode.
Sejurus kemudian, di bangku belakang Sigra putih, handphoneku berdering lagi.
Video call dari Nila, adikku.
"Haai" Aku menyapa sambil menyalakan video juga.
Nila dan Ben ada di seberang sana, Ben berlompatan ria.
"Mama, kok belum pulang?"
"Ini udah di Grab, sayang. "
"Ra, tuh temen-temen Ben udah pada dateng sebagian.. "
Beberapa teman Ben yang penasaran ikut melongok dari samping kiri kanan, sambil membawa balon.
"Iya La, gak lama paling juga setengah jam an nyampe. "
"Ma, papa juga belum pulang" Tanya Ben sedikit berkerut sambil memainkan balon-balon yang belum ditiup di tangannya.
Aku jeda sebentar.
"Hmm.. Iya, nanti mama duluan sampe kayaknya.. Tapi papa juga lagi pulang koq. "
Entah ini masuk white lies atau apa sebutannya.
"Udah ya, hape mama lowbat." Aku dada-dada sambil kiss bye.
"Dada mama.. "
"Jangan lama-lama lu.. " Nila atau panggilannya Lala, menambahkan.
Aku cuma memberi kode OK dengan jariku.
"Pak, bisa lewat jalan dekat kanal aja? Biasa di sana gak macet. "
"Ibu tau jalannya?" Si sopir terlihat ragu melihat dari spion.
"Iya pak, nanti saya pandu. "
"Ooh iya bu, soalnya saya baru di Jakarta, cuma mengandalkan map aja. "
Kamipun berbelok, meninggalkan kendaraan-kendaraan yang sudah mulai menumpuk menjelang perempatan.
Bill sudah terbiasa mengambil jalan ini, meskipun sempit dan agak membingungkan karena banyak cabang, tapi selalu berhasil menghindari kemacetan.
"Maaf ya bu, agak panas, mau bawa mobilnya servis belum sempat. Mohon ijin kacanya dibuka saja bu. " Si sopir mulai nampak gelisah.
Cuaca di luar, sopir, dan aku sama gelisahnya.
Firasatku mulai kurang enak.
Mobil melaju di sepanjang jalan tepi kanal yang sepi.
Tak lama, kap mesin berasap.
Si sopir melirik indikator sambil menyeka keringat gelisah di dahinya.
Damn, firasatku benar.
Mobil ditepikan.
"Mohon maaf sekali bu, saya cari tumpangan dulu ya, nyari air botolan, gak lama kok bu."
GLUDUKGLUGDUK.. BUMMMM..
Guntur di kejauhan seperti menjawab kegelisahan kami.
Tanpa banyak a i u lagi, sang sopir turun, melihat kiri kanan mencari tumpangan.
Disinilah aku, di dalam Sigra putih yang teronggok di pertengahan jalan sepi, sedangkan anakku di rumah, menunggu bersama teman-temannya, balon-balon dan hiasan lainnya.
Sejenak, aku menyesali keputusan memilih jalan pintas ini.
Tak lama, si sopir mendapat tumpangan motor, setelah sebelumnya berbicara dengan si pengendara.
Aku menoleh ke segala arah, mencoba melihat dan menimbang, apakah jalan kaki lebih baik.
Langit bertambah muram dan gemuruh guntur semakin kerap terdengar.
10 menit berlalu.
15 menit.
"OK cukup. " Gumamku.
Naluri keibuanku yang ingin segera pulang menepati janji pada anakku, membimbingku pada keputusan: kita jalan kaki saja. Aku dan naluri keibuanku.
Paling lama juga 20 menitan, tafsirku.
Kulirik HP ku, baterai tinggal 3%, haruskah kukabari kalau aku telat?
Ah nggak usah, fokus berjalan saja.
Aku melangkah cepat-cepat, meski dengan wedges yang agak tinggi.
Nafasku sedikit memburu, beginilah kalau tidak pernah berolah raga.
Semoga keputusanku benar.
Aku tidak berharap bertemu siapa-siapa di sepanjang jalan ini, karena takut sembarang menumpang juga.
Tapi semoga.
Karena bukan hal yang lazim, seorang emak-emak dengan rok dan wedges, berkulit putih mulus dengan bokong lebar seperti ini berjalan sendirian di jalanan ini.
Ada beberapa motor melaju dari arah berlawanan, tapi sepertinya tidak peduli.
Semua berkejaran dengan hujan yang tinggal menunggu jatuh saja.
TAP TAP... TAP..
Celaka, gerimis sudah.
Kubuka saja wedgesku, kutenteng.
Dan berlari terus, ya berlari dan jangan berhenti sampai memasuki kembali daerah yang ramai.
TAP TAP CSS.. SSSSSS...
Hujan membesar, datang mengejarku dari belakang.
Ah, padahal baru beberapa hari lalu rambutku digulung di salon.
Aku tetap berlari bagaimanapun juga.
Menyusuri pagar seng di tepian jalan kanal ini.
Ah, ada pagar batu di depan, sebuah rumah.
Hujan di belakang sudah terlalu deras, dan blouse ku sudah mulai basah.
Aku berbelok masuk ke sebuah pekarangan berumput tinggi di kiri kanan.
Ada sebuah rumah tua disini.
Aku mengikat rambutku yang sudah setengah basah, agar tidak kemana-mana, blouse tipisku sudah basah yang menimbulkan cetakan renda bra hitamku di baliknya.