PENGIKUT ALUR BAGIAN I: KEJUTAN TAK TERDUGA
1
Bulan Oktober, setahun lalu, aku mendiami indekos ini setelah kuputuskan dengan bulat hengkang dari rumah dan ingin merantau lagi setelah lulus kuliah.
Dua tahun pertama setelah kelulusan kuliah, aku tidak mempunyai pekerjaan tetap. Melamar kesana-sini tak kunjung ada panggilan, dan selalu dimintai uang pelicin agar bisa diterima kerja. Mencoba wirausaha berdagang cemilan, gagal. Sisanya hidupku membebani keluarga, bahkan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Tak perlu dibayangkan bagaimana kesalnya keluargaku. Dibalik itu semua, kebutuhanku masih bisa tercukupi, karena mau sekesal apapun keluarga selalu peduli.
Tetapi tak mungkin diriku akan seperti itu terus, hingga terciptanya keberanian untuk membulatkan tekad merantau di kota orang. Kali ini merantau yang benar-benar tanpa alasan dan harapan. Jika sewaktu kuliah merantau karena alasan menuntut ilmu dan dengan harapan agar mendapatkan pekerjaan yang layak. Kali ini aku taruhkan alasan dan harapan itu sesuai dengan alur semesta yang akan membawa bagaimana cerita hidupku.
Bermodal meminjam uang kepada sahabat karib sewaktu kuliah, aku berpamitan pada keluarga dengan dalih ingin mencari kerja. Dengan berat hati mereka mengikhlaskan dan membekaliku dengan doa dan uang seadanya.
Kuputuskan untuk pergi ke Jogja, membawa satu koper dan satu ransel untuk pakaian dan lain-lain. Sisanya kutitipkan pada temanku, termasuk harapan-harapanku, idealismeku, orang-orang tercinta di kotaku, dan masih banyak lagi kenangan yang kutitipkan padanya.
“Suatu saat akan kubawa kesini, Peng,” ucapku pada Cipeng.
“Siap, Yas. Sering-sering pulang, anak-anak nanti pada nanyain,” katanya dengan raut muka tegar.
Namun, bisa kurasakan Cipeng tak rela melepasku yang seringkali mendengarkan keluh kesah tentang pacarnya, dan seringkali rela uangku dipinjam untuk pergi bersama pacarnya.
“Aman, Peng. Nanti kesini lagi kalo udah beres.”
Motorku disimpan di rumah Cipeng, saat itu tak mungkin aku mengendarai motor dengan membawa satu koper dan satu ransel besar.
Surat-suratnya kuserahkan pada Cipeng, menitipkan motor satu-satunya hasil tabungan selama kuliah.
Aku diantar ke stasiun kereta olehnya, menggunakan motorku, atas permintaanku.
Cipeng tetap menungguku sampai kereta tujuanku datang, kurang lebih satu jam Cipeng menemaniku, padahal aku tahu saat itu Cipeng ada shift kerja.
“Peng, bukannya bentar lagi kerja?” kataku mengingatkan.
“Gapapa, Yas. Ga masuk sekali mah santai. Masa temen mau pergi ditinggal,” katanya menatapku dan menepuk pundak.
“Semoga cepet kaya, Peng. Biar ga kerja lagi,” kataku tertawa.
Berbatang-batang rokok kami hisap untuk membunuh waktu yang dilalui tanpa banyak berbincang.
Cipeng adalah tipe orang yang tidak bisa diam, dan selalu ngoceh terus di setiap kesempatan. Tapi waktu itu, Cipeng berbeda, seakan-akan ia mengerti kemauanku yang tak ingin berpura-pura tertawa dalam sebuah perbincangan.
Akhirnya kereta tujuanku datang, aku berdiri, Cipeng juga berdiri. Ia menjinjing koperku, aku menggendong ranselku.
“Ayo, Yas. Keretamu sudah datang.”
Aku mengangguk tersenyum ke arahnya.
Kutarik hisapan rokok di bibirku dan kuberikan pada Cipeng.
“Abisin, Peng. Kenang-kenangan,” kataku setengah tertawa.
Ia menerimanya dan langsung menghisapnya dalam-dalam.
Cipeng menyerahkan koper padaku sesaat ingin memasuki pintu kereta.
“Makasih, Peng. Nitip Ibu, Motor, sama Vera,” ucapku menatap matanya.
Saat itu mata Cipeng sedikit berkaca-kaca mendengar ucapanku.
“Siap, Yas. Laksanakan. Jaga dirimu baik-baik, maboknya kurangin,” katanya berusaha mencairkan suasana yang melankolis.
Aku hanya tersenyum berusaha untuk terlihat tegar.
2
Sekitar satu jam di perjalanan, aku tertidur setelah sebelumnya otakku penuh dengan baying-bayang kenangan. Kuperhatikan sekitar tempat dudukku. Sudah banyak yang turun rupanya, tak sepenuh di awal.
Di ujung belakang bagian kanan terlihat seorang perempuan yang tengah kebingungan seperti sedang mencari sesuatu. Ia melihat ke arahku dan berjalan menghampiri.
“Mas, maaf. Boleh pinjam hpnya sebentar?” ucapnya.
“Oh, mangga, Mbak. Kenapa emangnya, Mbak?” tanyaku dengan mengernyitkan dahi.
“Makasih, Mas. Hp saya hilang kayaknya ada yang ngambil,” ucapnya setengah menangis.
Aku sontak merogoh ponselku di saku jaket, memeriksanya.
“Ah syukurlah,” ponselku tak ikut hilang, aku berucap seraya menyerahkan padanya.
Ia mencoba menghubungi nomor ponselnya. Namun ia menyerah setelah beberapa kali gagal tersambung.
Ia menjelaskan ia tertidur cukup lama dan tidak sadar selama tidur ponselnya berada di genggaman tangannya, ia begitu mengutuk dirinya sendiri. Menyalahkan keteledoran yang seharusnya tak terjadi di transportasi umum seperti ini.
“Mbak, emangnya mau ke mana?” tanyaku dengan hati-hati, takut menambah buruk perasaannya.
“Ke Beringharjo, Mas.”
“Coba di cek lagi barang-barang yang lainnya, Mbak.”
Perempuan itu langsung kembali ke tempat duduknya, memeriksa barang-barangnya satu persatu.
“Syukurlah, barang yang lainnya masih aman,” lirihnya.
“Gimana, Mbak?” ucapku inisiatif menenangkannya karena masih terlihat shock.
Di sekitar kami waktu itu kira-kira ada 8 penumpang, namun terlelap semua. Otomatis mau tidak mau aku yang harus menenangkan si Mbak itu.
“Yang lainnya masih ada, Mas. Syukurlah hanya hp saja yang hilang,” ucapnya lemas.
“Kalo mau hubungin kerabat atau keluarga bisa pake hp saya dulu, Mbak. Kebetulan tujuan kita sama, Beringharjo.”
“Oh iya? Ke Beringharjo juga, Mas?”
“Iya nanti saya ikut mengabari keluarga, Mas. Makasih,” lanjutnya dengan tersenyum.
“Iya, mangga, Mbak. Santai.”
Ia menatapku seraya menjulurkan tangan.
“Oh iya, Mas. Inne,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Yas, Mbak,” ucapku ramah.
“Yas?”
“Iya, Mbak?”
“Ih saya nanya, Mas,” ia tertawa.
“Mas namanya, Yas?” sambungnya.
“Yassar, Mbak,” jawabku cepat dengan sedikit tertawa.
Aku berusaha mengakrabkan diri, karena terdorong untuk memberikan pertolongan secara naluri. Jika saja aku memilih untuk diam, mungkin pengalaman dan perasaan simpati yang kini kualami terlewati begitu saja.
Aku percaya semuanya sudah ada yang mengatur, tinggal bagaimana sikap dan cara menghadapinya saja. Terkadang sesuatu terjadi di dalam kendali, terkadang juga sesuatu terjadi di luar kendali. Dan aku yakin kejadian yang dialami Inne adalah yang terjadi di luar kendalinya.
Aku mencoba menghiburnya dengan bercakap-cakap. Cukup panjang kami bercengkrama saat itu. Hingga kutahu, Inne adalah seorang pengajar matematika di salah satu SMA Negeri di Jogja.
Ia baru saja pulang dari Surabaya dalam kegiatan training centre untuk sertifikasi guru muda setelah tiga bulan lamanya.
Inne saat itu memutuskan duduk bersebelahan denganku untuk berjaga-jaga, barang bawaannya ditumpuk di atas barang bawaanku.
“Aku taruh sini ya, Mas,” ucapnya meminta izin padaku.
“Iya di sana aja, Mbak, gapapa,” jawabku ramah.
“Aduh berasa tua banget saya dipanggil, Mbak,” katanya tertawa seraya menutupi mulutnya.
Aku ikut tertawa spontan.
“Saya juga dipanggil, Mas. Padahal ngga kayak Mas-mas,” ucapku datar.
Gaya bicaraku membuat ia tertawa lagi. Syukurlah ia sudah bisa tertawa setelah musibah menimpanya pikirku. Ia terlihat lebih rileks. Terlihat dari cara duduknya yang santai.
“Setengah jam lagi nyampe di stasiun pemberhentian, Yas,” kali ini menyebut namaku.
“Oh iya? Syukurlah kalo gitu.”
Inne memiliki perawakan tinggi semampai, lebih tinggi dariku bila kutebak. Khas perempuan jawa yang memiliki kulit kuning langsat. Ia memiliki tatapan yang teduh, alisnya tebal namun rapi. Berhidung mancung, dan memiliki bibir tipis yang sensual. Oh iya satu lagi, ia berjilbab.
3
Tak terasa, kami sudah sampai di stasiun pemberhentian. Aku dan Inne bersiap-siap mengemasi barang bawaan masing-masing.
“Yas, kita ke mini market dulu sambil istirahat sebentar,” ajaknya.
Benar saja, ia lebih tinggi dariku. Ketika berhadapan dengannya tinggiku hanya sehidungnya. Dan ia biasa saja menyadari hal itu. Justru aku yang sedikit kikuk.
Ia berpenampilan menarik. Meskipun seorang pengajar, namun ia terlihat seperti anak SMA. Gaya berpakaiannya cenderung tomboy. Ia mengenakan kaos polos hitam yang dibalut dengan jaket jeans panjang. Dipadukan dengan warna pashminanya yang senada, rok pisket hitam dan sepatu sneakers putih.
“Kamu mau beli apa, Yas? Biar aku aja yang masuk,” tanyanya padaku.
“Aku juga masuk deh, biar milih sendiri.”
“Ya udah, yuk!”
Kami masuk ke mini market dan bergerak mencari kebutuhan masing-masing. Aku fokus mencari minuman segar. Karena cukup suntuk rasanya setelah duduk hampir 2 jam lebih di kereta. Cukup bingung untuk menentukan pilihan minuman mana yang nanti akan membasahi kerongkonganku.
“Aku juga mau dong, Yas,” ucap Inne yang telah ada di sampingku.
“Yang mana?”
“Yang mana aja, aku gak terlalu tahu minuman segar haha. Aku manut sampeyan, Mas.”
Kami tertawa kecil karena itu.
Setelah membayar ke kasir. Kami duduk di kursi depan mini market. Aku menyalakan rokokku. Ia tak protes, malah menyantap cemilan yang dibelinya barusan.
“Ini kabari dulu keluarganya, In,” kataku dengan menyodorkan ponsel.
“Iya nanti aja, Yas. Lagian aku gak tahu nomer orang-orang terdekatku.”
“Akun medsos inget, kan?”
“Ah iya bener juga, aku ikut log in Instagram aja deh,” ucapnya senang.
Ia mulai mengotak-ngatik ponselku. Kuperhatikan ia tidak sama sekali gagap dalam mengoperasikannya. Jemarinya seakan tersinkronisasi dengan baik sesuai yang ia mau. Kupikir ponselnya yang hilang sama dengan ponsel punyaku.
Inne sudah mengabari keluarganya, sedangkan aku masih bingung. Tak tahu arah tujuan. Entah ke mana lagi kaki ini harus melangkah setelah menapakan kaki di Kota Pelajar ini.
“In!” kataku.
“Ya?” ucapnya memalingkan wajah dari ponselku dan melihat ke arahku.
Inne kini sedang berselancar melihat-melihat foto di Instagramnya dengan ponselku. Aku tak menghiraukannya.
“Kalo sewa kos di daerah sini kira-kira berapa ya? tanyaku.
“Bermacam-macam, beraneka ragam, kayak Indonesia,” jawabnya tanpa menoleh.
“Kamu mau yang gimana?” lanjutnya seraya menatapku.
“Yang jelas bisa di pake buat tidur lah hehe.”
“Kamar mandi dalem apa luar?”
“Dalem aja lah, kasian di luar dingin.”
“Heh!” jawabnya tertawa.
“Sekitar x, kalo daerah sini,” lanjutnya.
“Gampang deh, nanti aku carikan.”
“Kok nanti? Kan butuhnya sekarang buat tidur,” jawabku setengah tertawa.
“Sekarang ikut aku aja dulu, masalah itu gampang.”
Aku sedikit kaget, ikut dia? Kemana? Yang kutahu tujuan ia sekarang adalah ke rumah sakit untuk mengunjungi ayahnya yang sedang dirawat. “Nanti tidur di rumah sakit?” tanyaku dalam hati.
Kuputuskan untuk mengiyakan tawarannya, karena aku sendiri masih bingung jika harus luntang-lantung sendiri. Tadinya akan kuhubungi kenalan Cipeng yang kontaknya diberikan padaku ketika mengantar ke stasiun.
“Hubungi saja nomer ini, Yas. Bilang saja kau kawanku,” ucap Cipeng padaku.
Aku mengiyakan saja tanpa kutanya kenalan Cipeng ini siapa, perempuan atau lelaki, bapak-bapak atau ibu-ibu. Yang jelas aku sudah menyimpan kontaknya dengan nama “Kenalan Cipeng di Jogja”.
Aku menghabiskan tiga batang rokok sembari menikmati cemilan yang dibeli, sedangkan Inne masih saja sibuk dengan ponselku. Kubiarkan saja dan kumaklumi. Tetiba bunyi notifikasi WhatsApp masuk di ponselku.
“Eh astaga, aku hampir lupa, maaf, Yas. Aku malah keasyikan mainin hpmu. Soalnya hpmu sama kayak hpku yang hilang hehe,” katanya sedikit menahan malu.
Tebakanku benar, ponselnya sama dengan ponselku yang sedari tadi asyik diotak-atik olehnya.
“Ini ada WA masuk,” katanya seraya mengulurkan tangan.
“Dari siapa?” dengan sisa ketawaku karena tingkahnya.
“Cipenggg,” katanya memanjangkan bunyi akhirnya.
“Udah nyampe, Bro?” lanjutnya membacanya tanpa kusuruh, Ia menirukan suara lelaki untuk membacanya.
Sontak, itu membuat kami tertawa cukup keras. Kupikir Inne adalah orang yang mudah bergaul, bahkan denganku yang baru saja dikenalinya. Entah karena ia seterbuka itu dengan sikapnya karena aku telah bersimpati kepadanya. Tak tahu, hanya Inne yang tahu.
“Balesin,” ucapku.
“Bales gimana?”
“Udah.”
“Udah?”
“Ya udah.”
Kami tertawa lagi, rupanya ia paham dengan selera humorku yang receh.
“Ih! Gapake, Bro?” tanyanya.
“Terserah.”
“Dasar cewek!” katanya dengan nada yang dibuat kesal.
Kami seperti teman lama yang baru bertemu pada saat itu, aku terkadang menyesuaikan diri ketika bertemu dengan orang baru. Tapi kali ini, bertemu dengan Inne membuat diriku seenaknya karena keterbukaan sikapnya padaku.
4
Inne menyetop mobil angkot setelah diputuskan mengunjungi ayahnya di rumah sakit sekaligus menemui ibunya yang ada di sana.
Ia sengaja memilih angkot yang kosong, karena barang bawaanku dan barang bawaannya cukup membuat risih.
“Ke Rumah Sakit X, Pak,” kata Inne pada Pak Sopir.
Aku mengikuti Inne kemanapun ia melangkah, seperti anak ayam yang selalu mengikuti kemanapun induknya pergi.
“Abis dari mana, Mas, Mbak?” tanya Pak Sopir memecah keheningan.
Aku pikir, yang membuat Pak Sopir bertanya seperti itu adalah; barang bawaan kami yang banyak, mungkin itu landasan pertanyaannya.
“Habis jalan-jalan, Pak,” jawabku.
Inne hanya menoleh senyum ke arahku, tak berusaha membenarkan.
“Harus gitu, Mas. Sering ajak si Mbaknya jalan-jalan, biar seneng terus,” ucap Pak Sopir seraya melirik ke arah Inne melalui kaca spion tengah.
“Iya toh, Mbak?” lanjutnya.
“Setuju, Pak,” kata Inne melirik ke arahku dengan tertawa.
Sekitar 30 menit perjalanan akhirnya kami sampai di sebuah rumah sakit yang cukup besar.
Inne langsung menuju resepsionist dan menanyakan lokasi ruangan atas nama ayahnya yang dirawat. Aku menunggunya duduk di kursi menjaga barang bawaan Inne yang dititipkan.
“Yas!” teriaknya padaku.
Aku mengarahkan muka menatapnya.
“Yuk!”
“Aku di sini aja lah, In,” kataku ragu.
“Ayo buruan sini!” kata Inne sedikit memaksa.
Aku berjalan ke arahnya sembari membawa barang bawaannya.
“Ya udah, aku manut sampeyan, Mbak.”
Aku memakai kalimatnya ketika tadi sewaktu membeli minuman di mini market.
“Ih! Haha,” katanya tertawa.
Aku mengikutinya dari belakang, jalannya agak cepat. Aku memahaminya kenapa ia seperti itu. Tetiba saat kami berjalan, ada suara yang memanggilku.
“Mas! Ransel sama kopernya simpen di sini aja,” kata resepsionist.
“Oh iya, Mbak,” Inne yang menjawab, seraya mengambil barangnya di tanganku.
“Simpen aja deh, biar ngga ribet,” katanya padaku.
Akhirnya kami telah sampai di pintu masuk ruangan ayah Inne dirawat setelah menaiki lift ke lantai 3.
“Aku di sini aja,” kataku.
“Ngga masuk?”
“Malu, nanti aja hehe.”
“Di sini ngga malu diliatin orang?”
Memang benar saat itu banyak orang yang sedang menunggu pasien, ada yang tiduran di lantai, ada yang duduk. Yang kulihat mereka jenuh di sana.
“Ngga, lebih maluan di dalam,” kataku tertawa.
“Aku masuk ya,” seraya menolehku lalu membuka pintu.
Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Yang pasti aku tak ingin memikirkannya, aku hendak mengirim pesan kepada Cipeng.
“Peng, kenalanmu tinggal di daerah mana? Anak siapa?” pesanku.
Tak lama kemudian Cipeng membalas pesanku.
“Di daerah Malioboro, Yas. Gatau anak siapa. Sering dipanggil Codot, alumni kampus x”.
Informasi Cipeng sedikit membantuku, nanti akan kutanyakan pada Inne apabila sudah santai.
Kali ini aku benar-benar mengikuti alur semesta. Siapa yang mengira aku akan bertemu dengan Inne, perempuan cantik yang menyenangkan. Siapa yang mengira aku akan duduk di kursi rumah sakit dan melihat wajah-wajah lelah di sepanjang koridor. Aku berpikir, menjadi seperti air yang mengikuti arusnya cukup menyenangkan, penuh dengan kejutan. Melangkahkan kaki tanpa tujuan tidak terlalu buruk pikirku.
Tetiba dari arah samping terdapat pria yang hendak masuk ke pintu ruangan ayah Inne yang sedang dirawat. Sesaat sebelum membuka pintu, ia menoleh ke arahku. Aku mengangguk tersenyum. Ia tidak.
Mungkin salah satu dari keluarga Inne, pikirku. Aku tak ambil pusing.
Hasrat ingin merokok tinggi pada saat itu, karena kondisinya cukup sesak. Peluhku bercucuran di balik kemeja flannel yang kukenakan.
“Yas! Masuk!” kata Inne yang tiba-tiba menghampiriku.
“Masuk?” tanyaku bingung.
“Aku udah ceritain semua, mereka ingin bertemu kamu.”
“Aku manut lagi,” ucapku, yang kemudian pinggangku dicubit pelan olehnya.
Apa yang harus kulakukan di dalam sana. Apakah aku harus memperkenalkan diri lagi bila Inne sudah menceritakannya semua. Kenapa jadi rumit pikirku, tinggal nikmati saja alurnya, batinku tersadar kemudian.
“Yas! Yuk!” ajak Inne.
“Iya.”