Fantasi Seorang Suami
Sudah beberapa bulan terakhir susah sekali rasanya lepas dari jerat bayang-bayang jelek yang menempel di kepala ini. Mencengkeram begitu kuat, hilang-hilang timbul lagi, terus saja begitu. Aku berusaha keras untuk tidak membayangkannya. Namun, semakin ingin dilupakan, semakin terus menancap tak berkurangan. Seiring itu pula aku juga coba berupaya membujuk halus istriku sampai-sampai mengucapkannya secara terang-terangan perihal fantasiku ini. DUUUUAAARRR, Mirna yang sudah masuk usia ke-38 tahun ini TERKAGET-KAGET, lekas mencak-mencak kepadaku. Aku dibilangnya GILA!
"Coba kamu pikir baik-baik lagi, apakah risikonya sudah kamu pertimbangkan?"
"Jangan kamu pikir enak di kamu saja"
"Sudah kupikirkan matang-matang, aku merasa dengan usia kita yang lambat laun semakin tua dan anak kita yang sudah beranjak remaja perlahan dewasa, hubungan ranjang kita perlu sesuatu yang dahsyat, biar tak kesan membosankan"
"Dahsyat apanya, itu bukan dahsyat, tetapi malapetaka, perbuatan ngawur!"
"Jangan dilihat dari sisi jeleknya, nanti ada sisi bagusnya, bahkan enak yang kamu bisa rasakan"
"Apa? Baik? Enak? Kata siapa? Katamu kan?!"
"Ah kamu sudah gila, hanya nafsu di kepalamu"
"Loh kok kamu malah bilang aku gila, nafsu itu wajar, enak nilai tambahnya"
"Memang betul gila, suami macam apa yang tega melihat istrinya disetubuhi laki-laki lain. Apakah kamu sudah tidak punya rasa cemburu lagi?
"Cemburu! Cemburunya itu malah memperkokoh hubungan kita"
"Astaga! cemburu seperti apa yang ada dibenakmu itu..."
"Papa benar-benar jadi error semenjak kecanduan film porno"
"Mulai sekarang kamu berhenti, kurang-kurangin deh yang begituan"
"Mana bisa?!"
"Sudah cukup! nanti terdengar oleh Rengga"
Itulah awal jawaban istriku ketika aku mengutarakan niat ingin menyaksikan tubuh moleknya yang berisi padat disenggamai oleh orang lain. Aku dikutuk GILA tanpa ampun, telah menyalahi janji untuk menjaganya. Akan tetapi, aku tak putus asa setelah penolakan Mirna. Upaya demi upaya aku kerahkan, seperti sering mengunduh sekaligus menonton video porno dengan tema CUCKOLD dan THREESOME. Mirna diam-diam turut mengintip apa yang ditonton olehku. Aku sengaja tak memberi komentar, khawatir Mirna justru semakin menyangka yang tidak-tidak kepadaku. Maka, Aku membiarkan. Perlahan-lahan malah ia mulai menyukai dan menyaksikan film porno dengan genre tersebut tanpa sepengetahuanku, siapa tahu ini salah satu cara yang akan membuka jalan pikirannya sehingga fantasiku bisa terwujud.
Benarlah kemudian, dua bulan kubiarkan Mirna kudapati bermain dengan dildo yang sengaja kubelikan sebagai penambah keharmonisan dalam bercinta. Ia kadang menggunakannya saat aku terpaksa harus pulang malam dan terlalu lelah untuk menuruti kemauannya berhubungan badan. Atau saat,
"Aaaahhh...."
"Yuk sayang, isep dong dildonya, anggep kamu isep penis laki-laki lain sayang"
"Gak mau, ahhhh", ucap Mirna kala aku sedang menyetubuhinya dengan gaya misionaris pada suatu malam. Ia menggeleng tak mau dan menutup mulutnya rapat-rapat.
"Ayo dong, urgggh....", balasku mengarahkan kepala dildo ke bibir Mirna yang menutup rapat.
"Enghhhhh...."
"Ayoooo dong sayang, urghhh.."
"Aku mau ngentot kamu, sambil lihatin kamu ngulum dildo seolah lagi mengoral penis laki-laki lain. Padahal, kan ini juga bohong-bohongan"
Mirna kukuh tak mau melakukan. Bibirnya mengatup rapat dan tak berbicara sedikitpun. Aku yang sudah dikuasai nafsu dan berharap Mirna betul-betul mau mengulum dildo, terpaksa menunggu sejenak sampai ia lengah. Aku letakkan dildo itu di samping kepala Mirna. Lalu kembali aku fokus menggenjot tubuh istriku seraya meremas-remas susunya yang tergolong besar. Sambil kupilin puting susunya yang kecoklatan, aku berimajinasi andai ada laki-laki lain yang menghisap puting payudara istriku, pastinya mengasyikkan sekali. Aku pun bertambah birahi walau baru membayangkannya saja. Alhasil, aku menggenjot Mirna lebih cepat, mendorong penisku keluar masuk ke vagina Mirna seraya melihatnya mendesah-desah dan membuka mulutnya. AKHIRNYA!!!
HOOOPPPPP!
"HHHMMMFFHHHH"
"Sebentar saja sayang, uhhhhh"
"Aku mau bayangin kamu isap kontol laki-laki lain"
"Hhhhmmmmfffhhh", Mirna tergolek pasrah ketika aku berhasil meletakkan sebagian batang dildo ke mulutnya. Aku kendalikan alat itu keluar masuk vagina Mirna tanpa harus memintanya ikut berimajinasi yang sama denganku.
"Urghhhhh...."
"Aku mau keluar sayaaang", aku sungguh terangsang sekali memerhatikan istriku mengemut dildo tersebut. Tak heran, aku akhirnya kalah dan mencapai orgasme lebih dulu. Ah apakah ini pertanda jalan semakin terang bahwa Mirna mau disetubuhi laki-laki lain? CROOOTTTT.
Beberapa minggu setelah itu, saat pulang malam lebih cepat dari biasanya, aku yang sembunyi-sembunyi masuk ke dalam rumah mengintip ke arah kamarku karena Mirna tak kutemui di ruang mana pun. Apalagi aku sengaja tak memberi salam dan membuka pintu rumah pelan-pelan. HAHAHAHAHA Sepertinya akan terwujud fantasiku tak beberapa lama lagi. Namun, aku harus pelan-pelan. Tak bisa kembali dengan cara mengutarakan niatku blak-blakkan.
Aku mengintip Mirna yang sedang tak mengenakan celana, mencolek-colek klitoris vaginanya. Tangan yang satunya menggenggam dildo dan mengarahkan ke arah mulut, seraya ujung dildo diemut olehnya, lambat laun separuh dildo itu dilahap oleh Mirna. Aku menikmati sejenak pemandangan istriku yang sedang larut dengan imajinasinya. Kemudian aku tinggalkan sambil memikirkan apa langkah selanjutnya yang akan ditempuh. Sayangnya aku tak menemukan jawabannya malam itu.
Beberapa hari kemudian,
"Paaa, mau denger ceritaku, gak?"
"Cerita apa?", tanyaku yang lagi santai menonton televisi sehabis mandi pulang kerja.
"Tapi papa jangan kaget apalagi marah ya", ucap Mirna sambil menghidangkan makan malam.
"Iya".
"Beneran nih?"
"Iyaa Maaa, aku enggak akan marah"
"Engggh...."
Aku membiarkan istriku dengan keputusannya.
"Begini paaa, papa kenal Pak Yanto yang rumahnya dekat warung Bu Aminah kan?"
"Bu Aminah mana?"
"Yang penjual sayur, tempat aku belanja"
"Oh iya, yang istri dan anaknya tinggal di kampung itu kan?"
"Betul"
"ada apa dengan dia?", tanyaku heran.
"Gak jadi deh paaa, nanti aja Aku ceritanya"
"Loh kok belum cerita udah bersambung"
Mirna menyimpan ceritanya perihal Pak Yanto. Dengan cerita yang tanggung begitu aku bertambah penasaran dan tak ingin menagih-nagih ke Mirna, takut ia justru malah semakin menyimpan ceritanya. Kami pun makan malam tanpa cerita mengenai Pak Yanto yang usianya 5 tahun lebih tua dariku yang sudah berumur 42 tahun. Akan tetapi, aku tetap akan mencari tahu, namun Mirna jangan sampai menyadari aku berusaha mencari informasi yang tak ingin disampaikannya.
"Rengga, kamu ada tahu soal Pak Yanto?"
"Pak Yanto? Maksud papa?", aku bertanya pelan-pelan ke putraku. Sebelum berangkat kerja, aku menemuinya di kamar. Sementara Mirna sedang sibuk di dapur.
"Mama kamu kemarin ada cerita ke Papa mengenai pak yanto yang rumahnya deket penjual sayur itu, tetapi gak jadi"
"Terus kenapa papa gak tanyain lagi aja ke Mama"
"Ya nanti dikira papa penasaran banget lagi"
"Hahaha loh bukannya betul kan? Buktinya malah nanya ke aku"
"Hhmmm yaudah kamu ada tahu apa enggak?"
"Mama pernah bilang kalau setiap belanja ke warung bu Aminah, Pak Yanto selalu ada di sana. Beli sih gak, kayaknya dia sengaja pengen ketemu dan ngobrol sama mama"
"Apa yang diobrolin?"
"Engghh... lingkungan komplek sini aja. Kan Pak Yanto itu juga katanya sedang nganggur paaa"
"Hmmm, terus apalagi?"
"Sepertinya itu saja"
"Kalau ada informasi lagi, kasih tahu papa ya"
"Beres..."
Berangkat ke kantor, pikiranku tak tenang. Sebelum pamit dan disalami Mirna, sebetulnya aku ingin menanyakan perihal Pak Yanto yang tak jadi diceritakan olehnya. Sayangnya, Aku memutuskan menahan diri kembali.
Karena dibayangi banyak pertanyaan dan mengganggu fokus pekerjaan di kantor, malam harinya akhirnya kutanyakan juga kepada Mirna.
"Ngobrol biasa sih paa, cerita soal anak istrinya di kampung, tentang dia yang sedang cari kerja lagi, apa iya masih ada pekerjaan untuk laki-laki usia 47 tahun"
"Hhhmmm..."
"Mama mau cerita ke papa, takut dikiranya terlalu kepo urusan orang"
"Ah aku enggak begitu juga kali"
"Hhhmm, kayaknya aku bisa bantu sih itu. Kasihan juga pak yanto masih harus kirim uang ke kampung, sedangkan ia di sini belum dapat kerjaan lagi"
"Beneran bisa bantu, paa?"
"Ya mesti dicoba dulu, belum yakin bakal diterima bekerja atau enggak di tempat papa"
"Besok, papa mau ketemu sama dia"
Aku tak begitu puas mendengar cerita dari Mirna langsung. Aku coba menempuh langkah lain lagi. Besok pagi, sebelum meluncur ke kantor aku mau bertandang ke tempat Bu Aminah. Siapa tahu ia menyimpan secuil informasi lain yang tak diutarakan oleh Mirna.
...............................